Krisis pengungsi Rohingya
Di Myanmar, Bangladesh, dan Malaysia, kita menjadi saksi betapa rapuhnya dan putus asanya kondisi saat ini, serta masa depan yang suram dan tidak menentu bagi komunitas Rohingya.
Jangan lupakan Rohingya
Informasi terkini
Di seluruh Myanmar, 18,6 juta orang berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk akses ke perawatan medis. Kekerasan yang meningkat telah membuat jutaan orang mengungsi, dan layanan kesehatan terganggu parah. Doctors Without Borders, setelah 30 tahun memberikan bantuan di Myanmar, menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya karena zona konflik menjadi tidak dapat diakses dan fasilitas medis menjadi target. Komunitas internasional harus bertindak untuk memastikan bahwa organisasi kemanusiaan seperti Doctors Without Borders dapat terus memberikan perawatan yang menyelamatkan jiwa bagi mereka yang paling membutuhkan. Penderitaan di Myanmar tidak boleh diabaikan.
Artikel terkait
Solusi jangka panjang— solusi yang berkelanjutan—sangat dibutuhkan oleh masyarakat Rohingya. Mereka tidak bisa selalu diabaikan dan dilupakan, seperti pion dalam kebuntuan permainan politik regional.
Pada tahun 1948, Myanmar memperoleh kemerdekaan dari pemerintahan Inggris, menandai era ketika masyarakat Rohingya menikmati persamaan hak di negara yang baru terbentuk tersebut. Namun, keadaan berubah drastis pada tahun 1982 ketika, hampir dalam semalam, warga Rohingya dicabut kewarganegaraannya dan menjadikan mereka tidak memiliki kewarganegaraan.
Pergeseran mendadak ini memicu terjadinya penganiayaan dan pelecehan selama beberapa dekade, yang mengabaikan hak-hak dasar dan kewarganegaraan Rohingya di Myanmar. Situasi meningkat pada bulan Agustus 2017, dengan aksi kekerasan yang merenggut nyawa sedikitnya 6.700 orang Rohingya, termasuk anak-anak, dan memaksa lebih dari 600.000 orang meninggalkan Myanmar. Mereka yang tetap tinggal menghadapi kenyataan pahit karena tinggal di kamp-kamp di negara bagian Rakhine, rumah mereka dihancurkan dengan kejam.
Bagi mereka yang melarikan diri, mencari perlindungan berarti melakukan perjalanan berbahaya melalui darat dan laut, mendarat di negara-negara seperti Bangladesh, Malaysia, Kamboja, Thailand, dan India.
Dari sekitar 2 juta warga Rohingya di Asia Tenggara, lebih dari setengahnya tinggal di kamp berpagar di Cox's Bazar, Bangladesh—kamp pengungsian terbesar di dunia—sementara 600.000 orang lainnya harus menjalani kondisi terbatas di negara bagian Rakhine. Hidup dalam kondisi kumuh, mereka menghadapi terbatasnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, atau kemajuan, dan pembatasan pergerakan mencegah mereka meninggalkan desa atau kamp. Mereka yang berada di belahan dunia lain hidup di pinggiran masyarakat, dengan kesempatan kerja dan pendidikan yang terbatas, serta dihantui oleh ketakutan akan penangkapan.
Yang mengejutkan, hanya sekitar satu dari lima orang Rohingya yang masih tinggal di Myanmar, dan sebagian besar anak-anak Rohingya lahir di luar tanah air mereka, tanpa mengetahui asal usul mereka. Penolakan kewarganegaraan membuat perolehan paspor hampir tidak mungkin dilakukan, sehingga membuat mereka terjebak tanpa sarana hukum untuk melintasi perbatasan atau mendapatkan perlindungan hukum. Sayangnya, hal ini menjadikan etnis Rohingya sebagai salah satu populasi terbesar di dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan, tersingkir dari jalur hukum menuju kehidupan bebas dan terpaksa hidup di pinggiran masyarakat, sehingga berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Kurangnya kebebasan membuat mereka tidak mampu mengubah keadaan atau pulih dari trauma yang menumpuk selama bertahun-tahun. Perjuangan Rohingya, mulai dari persamaan hak hingga keadaan tanpa kewarganegaraan, masih menjadi isu yang mendesak dan mendesak di panggung global.
Masyarakat Rohingya membutuhkan visi masa depan yang dapat mereka percayai. Terus-menerus hidup dalam kondisi sementara tidak memungkinkan adanya kehidupan yang bermartabat.”Erik Engel, koord. proyek
Sejarah krisis Rohingya
Pemerintah militer Burma mengesahkan Undang-Undang Imigrasi Darurat. Menurut Undang Undang tersebut, Bangladesh, China, dan India dianggap sebagai "orang asing" dan memiliki hak yang terbatas. Otoritas mulai menyita kartu tanda penduduk Rohingya © Willy Legrendre/MSF
Burma menginisiasi Operasi Raja Naga (Naga Min) untuk mendata dan memverifikasi status warga negara dan orang yang dianggap sebagai "orang asing". Tentara menyerang dan meneror orang Rohingya.
Ini mengakibatkan sekitar 200.000 orang Rohingya mengungsi melintasi perbatasan ke Bangladesh, di mana kamp pengungsian didirikan. © Bangladesh/MSF
Orang Rohingya di Bangladesh dipulangkan kembali ke Burma. Dari mereka yang tetap tinggal di Bangladesh, diperkirakan sekitar 10.000 orang meninggal - sebagian besar anak-anak - setelah ransum makanan dipotong. © John Vink/MAPS
Parlemen Burma menyetujui undang-undang baru yang menentukan kewarganegaraan berdasarkan etnisitas. Undang-undang tersebut tidak mengakui orang Rohingya dan komunitas minoritas lainnya. © Bangladesh/MSF
Setelah adanya pemberontakan yang kemudian dikendalikan, Burma berganti nama menjadi Myanmar.
Pemerintah mewajibkan semua penduduk untuk mendaftar kartu identitas baru yang disebut Kartu Pemeriksaan Kewarganegaraan. Orang Rohingya tidak pernah menerima kartu baru tersebut.
Dewan Pemulihan Ketertiban dan Hukum Negara yang berkuasa meningkatkan kehadiran militer di negara bagian Rakhine Utara, dan orang Rohingya dikabarkan menjadi sasaran kerja paksa, pemindahan paksa, pemerkosaan, eksekusi tanpa pengadilan, dan penyiksaan. Ribuan orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh. © Willy Legrendre
Militer Myanmar meluncurkan Operasi Pyi Thaya, atau "Negara Bersih dan Indah", pada saat itu tentara melakukan kekerasan yang meluas. Sekitar 250.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Dokter Lintas Batas menyediakan layanan medis di sembilan dari 20 kamp pengungsi yang didirikan untuk orang Rohingya di bagian barat daya Bangladesh. Tetapi makanan, air, dan sanitasi di kamp-kamp tersebut tidak memadai. © John Vink/MAPS
Pemerintah Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian untuk memulangkan para pengungsi, dan kamp-kamp tertutup bagi kedatangan para pengungsi baru di musim semi. Pada musim gugur, pemulangan paksa dimulai, meskipun diprotes oleh komunitas internasional. Pemerintah membentuk pasukan khusus keamanan perbatasan yang disebut NaSaKa, untuk mengancam dan mempersekusi orang Rohingya. Kemudian beberapa tahun berikutnya, sekitar 150.000 orang Rohingya dikembalikan ke Myanmar, dan para pengungsi baru yang mencoba melakukan perjalanan ditolak masuk ke Bangladesh. © MSF
Myanmar mulai menolak memberikan akta kelahiran kepada anak-anak Rohingya. © Liba Taylor
Kartu registrasi sementara, yang dikenal dengan "kartu putih", diterbitkan pemerintah untuk orang Rohingya. Kartu tersebut bukanlah bentuk identifikasi kewarganegaraan. © A. Hollmann
Dari 20 kamp yang didirikan di Bangladesh pada awal tahun 90-an, hanya dua yang tersisa. Kondisinya sangat memprihatinkan - sebuah studi menemukan bahwa 58 persen anak-anak dan 53 persen orang dewasa menderita malnutrisi kronis. © Johannes Abeling
Puluhan ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar dengan perahu sebagai akibat bentrokan antara komunitas Buddha dan Muslim di Negara Bagian Rakhine. © Giulio Di Sturco
Dokter Lintas Batas menjalankan fasilitas medis di kamp darurat Kutupalong di Bangladesh. Hanya sebagian kecil dari orang Rohingya yang mencari perlindungan di Bangladesh diakui secara resmi sebagai pengungsi. Pengungsi Rohingya yang tidak diakui rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi. © Juan Carlos Tomasi
Kartu putih Rohingya, satu-satunya bukti identifikasi mereka, dinyatakan tidak berlaku oleh pemerintah. Sebagai gantinya, orang Rohingya diharuskan memiliki kartu verifikasi nasional, yang sebenarnya salah mengidentifikasi mereka sebagai imigran dari Bangladesh. Sebagian besar orang Rohingya menolak kartu baru tersebut. © Alva Simpson White
Pada tanggal 9 Oktober, serangan militan Rohingya terhadap polisi perbatasan di Negara Bagian Rakhine Myanmar memicu balas dendam terhadap komunitas Rohingya, menimbulkan gelombang pengungsi baru yang melintasi perbatasan dan pasien membanjiri klinik Dokter Lintas Batas di kamp darurat Kutupalong, yang menyediakan perawatan medis komprehensif bagi pengungsi Rohingya serta masyarakat setempat di Bangladesh. © Alva Simpson White
Setelah milisi Rohingya menyerang beberapa pos polisi dan militer di Myanmar pada 25 Agustus, pihak keamanan negara membalas dengan melakukan teror dan kekerasan yang mengerikan dengan menyasar komunitas Rohingya. Lebih dari 700.000 orang Rohingya terusir dari Myanmar dalam beberapa minggu. Siklus pengungsian massal dimulai lagi, kali ini dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dokter Lintas Batas mencatat lebih dari 6.700 orang Rohingya mati akibat kekerasan.
Fasilitas medis di Bangladesh, termasuk yang dijalankan oleh Dokter Lintas Batas kewalahan. Pada bulan September, Dokter Lintas Batas meminta bantuan kemanusiaan untuk Rohingya segera ditingkatkan di Bangladesh untuk menghindari bencana kesehatan masyarakat. Dokter Lintas Batas juga mendesak pemerintah Myanmar untuk memperbolehkan organisasi kemanusiaan independen mengakses wilayah utara Rakhine tanpa hambatan. © Madeleine Kingston/MSF
Mulai bulan Desember, pemerintah Bangladesh mulai merelokasi sebagian pengungsi ke Bhasan Char, sebuah pulau pasir di Teluk Bengal yang sebelumnya tidak berpenghuni - karena lokasinya yang terpencil dan lingkungannya yang tidak stabil. © Hasnat Sohan/MSF.
Otoritas Bangladesh menerapkan lockdown yang ketat selama pandemi COVID-19 yang semakin membatasi kebebasan bergerak dan peluang kerja bagi orang Rohingya. Di tengah kondisi yang semakin sulit, kelompok bersenjata semakin kuat melalui tindak kekerasan dan pemerasan. Saat kondisi kehidupan terus memburuk, kebakaran terjadi di kamp, termasuk salah satunya terjadi di wilayah Balukhali yang melukai 11 orang dan menghancurkan klinik Dokter Lintas Batas pada bulan Maret. Kemudian hujan deras dan banjir melanda kamp tersebut mulai bulan Juli.
Banyak orang terpaksa mengambil keputusan yang sulit untuk masa depan mereka. Ada yang menempuh perjalanan berbahaya dengan perahu penyelundup melalui Teluk Bengal untuk bergabung dengan lebih dari 100.000 orang Rohingya di Malaysia. Perahu-perahu ini sering tertangkap oleh otoritas Pemerintah Malaysia, tetapi ketika mereka kembali ke Bangladesh, mereka dilarang masuk oleh otoritas Bangladesh, sehingga mereka terkatung-katung di laut berminggu-minggu bahkan berbulan bulan.
Kondisi menyedihkan di kamp dan masa depan yang suram memicu krisis kesehatan mental di antara Rohingya yang tinggal di sini. © Pau Miranda
Lima tahun setelah kampanye kekerasan terbesar dilakukan secara sistematis terhadap Rohingya di Myanmar, hampir satu juta orang tinggal di tempat penampungan yang terbuat dari bambu dan plastik yang sama di Cox's Bazar, hidup bergantung pada bantuan, tanpa ada solusi yang lebih baik. © Saikat Mojumder/MSF
Apa yang kamu ketahui tentang krisis Pengungsi Rohingya?
Uji pengetahuanmu.
- Siapa orang-orang Rohingya ?
Rohingya adalah orang-orang dari negara bagian Rakhine, Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh di utara. Sebagian besar dari mereka adalah Muslim, yang tinggal di negara mayoritas Buddha selama berabad-abad. Otoritas Myanmar membantah hal ini dan menyatakan mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Sebelum penumpasan oleh militer pada Agustus 2017, sekitar 1,1 juta orang Rohingya tinggal di negara tersebut.
Anwar Arafat, remaja berusia 15 tahun yang tinggal di Kam Pengungsi Jamtoli mengatakan kepada orang muda di seluruh dunia : “Saya ingin menyampaikan pesan kepada anak muda seusia saya di seluruh dunia. Mohon gunakan kesempatan yang kalian miliki dan belajar sebanyak mungkin yang kalian bisa. Saya dan banyak pengungsi Rohingya lainnya tidak memiliki kesempatan seperti itu.” Bangladesh, 2022 @Saikat Mojumder/MSF
Sasaran kekerasan
Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri setelah pemerintah Myanmar meningkatkan aksi militer terhadap mereka, sebagai balasan atas serangan yang diklaim oleh Arakan Rohingya Salvation Army pada tahun 2017.
Orang-orang Rohingya melakukan perjalanan ke Cox's Bazar dengan berjalan kaki, naik perahu, dan terkadang dengan mengarungi sungai yang memisahkan perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Hal ini menyebabkan orang-orang Rohingya disebut PBB sebagai salah satu minoritas yang paling dipersekusi di dunia pada tahun 2013.
Sekurangnya 6.700 Rohingya meninggal antara 25 Agustus dan 24 September 2017, menurut survei yang dilakukan oleh Dokter Lintas Batas. Dalam perkiraan yang sangat konservatif, setidaknya 6.500 orang tewas, termasuk 730 anak di bawah usia lima tahun. Temuan ini mengonfirmasi laporan organisasi berita internasional tentang kekerasan yang ditargetkan — yang selalu dibantah oleh pemerintah Myanmar.
- Mengapa Rohingya tidak memiliki negara?
Rohingya dianggap sebagai orang asing di Myanmar, setelah berlakunya Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982. Undang-undang tersebut tidak mengakui mereka sebagai salah satu "ras nasional".
Meski Pemerintah Myanmar menawarkan kewarganegaraan melalui "verifikasi", orang-orang Rohingya enggan menerima Kartu Verifikasi Nasional (NVC1); meskipun memiliki kartu tersebut, mereka masih tidak dapat bergerak bebas di negara bagian Rakhine atau di negara tersebut, dan aksesnya terbatas untuk mendapatkan layanan yang diperlukan karena harus melewati berbagai pos pemeriksaan, hambatan birokrasi, dan praktik diskriminatif lainnya.
“Kami bukan tidak memiliki negara. Kami berasal dari Myanmar. Nenek moyang kami berasal dari Myanmar,” Abu Ahmad, 52 tahun, melarikan diri ke Bangladesh untuk mencari pengobatan atas kelumpuhan putrinya, Bangladesh, 2018 @Ikram N'gadi/MSF
- Bagaimana situasi Rohingya saat ini?
Di Bangladesh
“Menghabiskan hidup kami di kamp itu sulit; wilayahnya kecil, dan tidak ada ruang bagi anak-anak untuk bermain.” – Abu Siddik, Cox's Bazar, Bangladesh
Hampir tujuh tahun telah berlalu sejak masuknya lebih dari 770.000 pengungsi Rohingya ke Cox's Bazar pada tahun 2017, menambah jumlah pengungsi Rohingya yang kini berjumlah 250.000 jiwa akibat gelombang kekerasan sebelumnya. Populasi saat ini di zona sekitar 25 kilometer selatan kota Cox's Bazar kini mendekati satu juta orang.
Awalnya, pemerintah Bangladesh menyambut baik kedatangan Rohingya, memikul beban menyediakan tempat tinggal dan bantuan makanan. Bekerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, berbagai LSM di kamp Cox's Bazar menangani kebutuhan dasar seperti makanan, gas untuk memasak, udara, sanitasi, pendidikan dasar (hingga tingkat dasar) dan layanan kesehatan dasar. Namun, upaya ini hanya memenuhi kebutuhan hampir satu juta pengungsi.
Pihak berwenang di Bangladesh dan masyarakat yang menjadi tuan rumah semakin menunjukkan rasa frustrasi mereka terhadap apa yang mereka anggap sebagai tindakan internasional yang tidak memadai untuk menyelesaikan krisis ini. Mereka menganjurkan repatriasi segera dan menyatakan bahwa respons di Bangladesh harus bersifat sementara. Hal ini terlihat dari sifat sementara tempat penampungan pengungsi dan fasilitas LSM, yang diwajibkan menggunakan bahan-bahan yang tidak permanen.
“Saya sudah tua sekarang dan akan segera mati. Saya ingin tahu apakah saya akan melihat tanah air saya sebelum saya mati. Harapan saya adalah untuk menghembuskan nafas terakhir saya di Myanmar.” Mohamed Hussein, seorang Rohingya berusia 65 tahun menyampaikan keinginannya kepada Doctors Without Borders. Bangladesh, 2022. © Saikat Mojumder/MSF
Yang memperburuk situasi adalah fokus kemanusiaan pada etnis Rohingya yang disebabkan oleh krisis di tempat lain. UNOCHA melaporkan penurunan pendanaan untuk Rencana Respons Bersama Rohingya dari $629 juta pada tahun 2020 menjadi $602 juta pada tahun 2021, dengan pendanaan saat ini hanya 46 persen pada Desember 2023.
Meskipun Doctors Without Borders tetap didanai secara independen, alokasi sumber daya global didasarkan pada kebutuhan, sehingga mengurangi dampak kemampuan Doctors Without Borders dalam menyediakan layanan kesehatan. Fasilitas yang kewalahan menyebabkan lonjakan jumlah pasien yang mencari layanan kesehatan dasar, yang diperburuk dengan penutupan atau disfungsi pos-pos layanan kesehatan terdekat. Permintaan untuk mengobati penyakit kronis seperti diabetes dan tekanan darah tinggi telah meningkat, sehingga membebani kapasitas Doctors Without Borders.
Kekhawatiran terhadap air dan sanitasi masih ada, dengan sedikit perbaikan pada kualitas dan kuantitas udara. Akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak masih menjadi tantangan dan berkontribusi terhadap penyakit yang ditularkan melalui udara. Survei Doctors Without Borders tahun 2022 menyoroti isu-isu seperti banyaknya tanda-tanda yang ada, yang menggarisbawahi perjuangan yang sedang berlangsung.
Mengakses layanan kesehatan sangatlah sulit, karena pasien harus menempuh perjalanan yang panjang dan menantang di medan yang sulit, bahkan dalam kondisi yang sulit. Jatah sabun berkurang, sehingga memengaruhi sumber daya kebersihan pribadi. Kasus kudis sedang meningkat, dengan Doctors Without Borders yang merawat lebih dari 70.000 pasien pada paruh pertama tahun 2023, hal ini mendorong pemerintahan WHO secara besar-besaran, meskipun tidak lengkap tanpa intervensi air dan sanitasi yang kuat.
Penyakit tidak menular (PTM) menimbulkan tantangan yang signifikan, dimana Doctors Without Borders terus mengalami peningkatan dalam pelayanan pasien. Rujukan ke layanan sekunder sering terjadi karena terbatasnya tempat tidur di rumah sakit terdekat. Masalah kesehatan mental diperburuk oleh kondisi kehidupan yang buruk, kurangnya peluang mata pencaharian dan kekerasan, yang menyebabkan meningkatnya kecemasan, depresi, dan upaya bunuh diri sejak tahun 2021.
Selain itu, kamp tersebut menghadapi peningkatan infeksi demam berdarah dan malaria, yang memerlukan dana WASH untuk pembiakan dan pengelolaan larva. Ketika situasi memburuk, individu seringkali menggunakan penyelundup bayaran untuk melarikan diri ke Malaysia, Indonesia atau Thailand.
Di Malaysia
Selama lebih dari 30 tahun, pengungsi Rohingya melakukan perjalanan berbahaya melintasi Laut Andaman untuk mencapai Malaysia, mencari keselamatan dan harapan untuk masa depan. Namun, kehidupan para pengungsi di Malaysia masih penuh tantangan, yang dipicu oleh perjuangan terus-menerus untuk mendapatkan martabat dan penerimaan. Malaysia, yang tidak menunggu Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951 dan protokol-protokolnya, tidak memiliki pengakuan dan perlindungan hukum bagi pengungsi dan pencari suaka, sehingga secara efektif mengkriminalisasi kehadiran mereka dan memberi mereka akses terhadap layanan publik, termasuk layanan kesehatan.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memberikan perlindungan terbatas kepada pengungsi terdaftar dan pencari suaka melalui kartu yang diterbitkan. Meskipun demikian, kurangnya status hukum mereka membuat mereka selalu menghadapi risiko penangkapan, penahanan dan hambatan terhadap layanan penting seperti layanan kesehatan, pendidikan dan pekerjaan resmi.
Banyak pengungsi, termasuk Rohingya, ditahan di pusat-pusat imigrasi di seluruh negeri, dan UNHCR tidak diberi akses sejak Agustus 2019, sehingga menghalangi penentuan status pengungsi dan pembebasan tahanan. Pada Juli 2022, 17.703 orang asing dilaporkan ditahan di 21 pusat penahanan imigrasi di seluruh negeri. Pada tahun 2023, Kementerian Dalam Negeri Malaysia mengungkapkan bahwa pusat penahanannya menampung 1.382 anak, dan ada rencana untuk memindahkan mereka ke fasilitas baru yang ramah anak.
Sejak munculnya pandemi COVID-19 pada tahun 2020, Doctors Without Borders telah mendokumentasikan peningkatan sentimen xenofobia terhadap pengungsi Rohingya di Malaysia, bertepatan dengan pergantian pemerintahan. Pendekatan pemerintah yang tidak kenal kompromi mencakup pencegahan perahu mencapai pantai, memperketat kontrol perbatasan, dan mengintensifkan serangan imigrasi yang secara khusus menargetkan wilayah yang dihuni oleh pengungsi dan migran.
Pada bulan Mei 2022, terjadi perubahan signifikan pada demografi kedatangan kapal baru, dengan proporsi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Di antara para pendatang ini, sebagian besar adalah gadis-gadis muda Rohingya, yang, demi mencari kehidupan yang lebih aman, sering kali terlibat dalam perjodohan dan menjadi korban perdagangan manusia. Sayangnya, para pendatang baru ini menghadapi tuntutan hukum, yang mengakibatkan pemenjaraan atau penahanan di tahanan imigrasi. Meskipun ada upaya Doctors Without Borders untuk memperluas dukungan medis dan kesehatan mental kepada orang-orang ini, keberhasilan dalam menjangkau mereka masih sulit dicapai.
Perjalanan mengerikan yang dialami pengungsi Rohingya berkontribusi terhadap insiden kekerasan seksual dan berbasis gender (SGBV), dengan 17 persen penyintas klinik melaporkan penyerangan selama perjalanan mereka. Mencari layanan kesehatan mental sering kali disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan migrasi, dengan 64 persen menunjukkan gejala kecemasan dan 18 persen mengalami masalah yang berhubungan dengan suasana hati.
Pengungsi perempuan, terutama remaja, menghadapi tantangan tambahan, termasuk lamanya waktu menunggu pendaftaran UNHCR, yang berujung pada ancaman penangkapan dan deportasi. Pencari suaka yang tidak terdaftar menghadapi biaya yang sangat tinggi di fasilitas layanan kesehatan, sehingga layanan kesehatan tidak terjangkau secara finansial. Kerentanan para pengungsi diperburuk oleh ujaran kebencian di dunia maya dan di tempat, yang secara langsung menyasar mereka. Penderitaan pengungsi di Malaysia sangat membutuhkan perhatian internasional dan upaya bersama untuk mencari solusi jangka panjang.
Di Myanmar
Sekitar 600.000 orang Rohingya masih tinggal di negara bagian Rakhine, dan sekitar 140.000 orang berada di lokasi pengungsian, termasuk kamp-kamp di mana kebebasan bergerak mereka sangat dibatasi. Bahkan mereka yang berada di pedesaan menghadapi hambatan birokrasi dan tingginya biaya dokumentasi, sehingga membatasi akses terhadap layanan dasar.
Bagi warga Rohingya di negara bagian Rakhine, kudeta militer tidak membawa perbaikan signifikan terhadap situasi mereka. Sebelum kudeta, situasi mereka sangat buruk dan mereka terus menanggung kesulitan. Undang-undang Kebangsaan Myanmar tahun 1982 mengecualikan mereka dari pengakuan di antara “135 masyarakat adat resmi”, yang menjadikan mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Kurangnya kewarganegaraan penuh mengakibatkan banyak pelanggaran hak asasi manusia, termasuk terbatasnya pergerakan dan akibatnya terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan dan mata pencaharian.
Kondisi di kamp tersebut masih penuh sesak dan tidak sehat, dan hanya ada sedikit indikasi bahwa setiap orang akan diizinkan kembali ke desanya. Akibat dari perpindahan tersebut, ditambah dengan kemungkinan tempat tinggal mereka ditempati oleh kelompok etnis lain, menambah tantangan yang ada. Situasi di Myanmar jauh dari kondusif bagi repatriasi Rohingya yang aman dan sukarela dari Bangladesh.
Keluarga-keluarga dipisahkan tidak hanya oleh mereka yang melarikan diri ke Bangladesh tetapi juga oleh orang-orang Rohingya yang melakukan perjalanan berbahaya, khususnya ke Malaysia, untuk mencari peluang yang lebih baik. Keadaan ini berdampak signifikan terhadap kesehatan mental mereka yang masih tinggal di Myanmar.
Perebutan kekuasaan oleh militer di tengah pandemi ini telah memicu gejolak ekonomi, dengan nilai kyat yang anjlok terhadap dolar, sehingga menyebabkan kenaikan harga impor. Hal ini mengakibatkan peningkatan biaya bahan bakar dan makanan, khususnya yang berdampak pada negara bagian Rakhine, yang sangat bergantung pada barang-barang yang diangkut dari wilayah lain di negara tersebut.
Meningkatnya ketegangan di negara bagian Rakhine antara Tentara Arakan dan militer Myanmar menambah tantangan yang ada. Meskipun etnis Rohingya tidak terlibat langsung dalam konflik ini, ketidakamanan yang meningkat dapat membuat mereka rentan terhadap kekerasan, sehingga mempengaruhi pergerakan dan akses komunitas Doctors Without Borders.
Meningkatnya konflik bersenjata di Rakhine telah menyebabkan pengungsian, terbatasnya akses terhadap bantuan kemanusiaan, dan penutupan atau pengurangan fasilitas kesehatan bagi seluruh komunitas di wilayah tersebut. Topan Mocha menyoroti kerentanan di kamp-kamp pengungsi Rohingya dan Rakhine, terutama ketika kegiatan tanggap darurat terhambat oleh terbatasnya akses dan izin perjalanan. Hal ini membuat masyarakat harus mengatasi secara mandiri pada hari-hari kritis setelah bencana, sehingga menghambat upaya tanggap darurat.
Doctors Without Borders menghadapi penyumbatan di pos pemeriksaan, yang mengakibatkan penundaan yang berkepanjangan. Pos pemeriksaan Angkatan Laut dalam perjalanan menuju klinik di kotapraja Pauktaw, yang menahannya selama rata-rata dua jam, menyebabkan berkurangnya jam buka klinik dan penurunan konsultasi medis sebesar 30% dalam seminggu. Sekitar 200 pasien per minggu tidak mendapatkan layanan kesehatan karena terbatasnya kebebasan bergerak, sehingga berdampak pada layanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan bisnis.
Tantangan yang beragam ini memerlukan perhatian segera dan upaya bersama untuk meringankan penderitaan mereka yang terkena dampak.