Skip to main content

    Myanmar di Ambang Jurang: Masyarakat dalam Kondisi Terdesak

    Myanmar

    Perumahan di kamp Pengungsi Internal di Rathedaung, bagian utara negara bagian Rakhine yang merupakan tempat tinggal komunitas orang Rakhine. Oktober 2023 © Zoe Bennell/MSF

    Selama ini, saya telah menyaksikan krisis di Afrika dan Timur Tengah yang disebabkan oleh konflik dan pengungsian berskala besar. Namun, kunjungan saya baru-baru ini ke Myanmar telah memberikan sudut pandang yang berbeda tentang krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung. Akibat perang saudara yang terus memanas, sebagian besar wilayah negara ini berada dalam kekacauan, dan sepertiga penduduknya sangat membutuhkan bantuan darurat. Tiga juta orang telah dipaksa mengungsi untuk mencari tempat yang aman dari kekerasan. Seperti yang dikatakan seorang warga kepada MSF, "Ribuan orang mencoba mengungsi, namun banyak yang terbunuh atau terluka. Kekerasan masih terus berlangsung." Pada awal Agustus ini, tim kami di Bangladesh menerima lebih banyak warga Rohingya yang terluka, 40 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak, yang terpaksa mengungsi dari Myanmar karena kekerasan.

    MSF telah beroperasi di Myanmar selama lebih dari 30 tahun untuk memberikan berbagai layanan kesehatan, mulai dari layanan kesehatan dasar, pengobatan HIV, hingga layanan kesehatan mental. Setelah militer mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021, tim kami di lapangan menyaksikan konflik yang semakin parah dan berdampak pada kesehatan masyarakat, karena ribuan tenaga medis terpaksa berhenti bekerja. Ketidakamanan dan kekerasan yang meluas, serta hambatan administratif, telah mempersulit pengiriman pasokan dan akses bantuan kemanusiaan, sehingga layanan kesehatan yang tersedia di negara tersebut menjadi semakin terbatas.

    Myanmar

    ©MSF

    Di Yangon, kota terbesar di Myanmar, MSF memberikan dukungan kepada satu-satunya rumah sakit tuberkulosis (TB) yang masih beroperasi, di mana hampir 50 persen pasien TB yang kebal terhadap obat mendapatkan perawatan. Namun, pembatasan bantuan kemanusiaan yang ditetapkan oleh pihak berwenang telah berdampak serius pada kapasitas rumah sakit untuk beroperasi seperti sebelumnya. Beberapa bangsal rumah sakit telah ditutup, dan peralatan belum diganti. MSF juga khawatir tentang pasien TB/HIV di Shan Utara dan Kachin yang telah diserahkan kepada program TB nasional, karena setiap gangguan dalam pengobatan mereka dapat menyebabkan resistensi dan/atau memburuknya kondisi mereka.

    Di Yangon, saya bertemu dengan relawan MSF dari komunitas etnis Rohingya yang telah berjalan kaki berhari-hari untuk menghindari meningkatnya kekerasan di Buthidaung, Negara Bagian Rakhine. Warga sipil terjebak di tengah-tengah konflik, terkena peluru nyasar dan serangan membabi buta, serta rumah dan harta benda mereka hancur akibat kebakaran hebat. Banyak dari mereka harus berulang kali mengungsi sementara para pria takut akan perekrutan paksa dari semua pihak yang bertikai. Pada 10 Agustus 2024, tim MSF di Bangladesh merawat 50 orang Rohingya yang terluka akibat perang, termasuk 18 anak-anak, yang tiba dari Myanmar. Lonjakan jumlah korban luka-luka akibat kekerasan, termasuk luka-luka akibat peluru mortir dan luka tembak, menunjukkan semakin parahnya krisis kemanusiaan di Rakhine.

    Maraknya kekerasan di Negara Bagian Rakhine, Kachin, dan Shan sejak akhir tahun 2023 telah berdampak besar pada kegiatan medis MSF. Kantor dan apotek kami di Buthidaung, Rakhine, dibakar pada bulan April, termasuk obat-obatan penting yang ada di dalamnya. Gagalnya gencatan senjata yang ditengahi pada November 2022 telah menyebabkan penurunan drastis dalam jumlah konsultasi rawat jalan bulanan MSF di Rakhine, merosot dari 6.684 pada September 2023 menjadi hanya 81 pada Maret 2024. Kami juga telah memperingatkan peningkatan kematian ibu dan bayi sejak tahun 2023, yang menunjukkan adanya berbagai hambatan dalam layanan kesehatan.

    Myanmar

    Puing-puing kantor MSF yang terbakar di Buthidaung menyusul meningkatnya konflik di daerah tersebut yang telah menghancurkan rumah dan bangunan termasuk kantor MSF. April 2024 © MSF

    Seperti halnya kebanyakan organisasi kemanusiaan lainnya, MSF tidak dapat menyediakan layanan kesehatan dasar bagi masyarakat di wilayah yang dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata karena adanya pembatasan pergerakan yang ditetapkan oleh pihak berwenang.

    MSF sebelumnya memiliki 25 klinik keliling di Rakhine, namun kegiatan ini telah dihentikan selama 8 bulan karena konflik. Ketika saya mengunjungi Sittwe, tim MSF baru saja menerima izin perjalanan untuk mengunjungi sedikitnya satu daerah dan telah berhasil menangani beberapa pasien. Ratusan pasien, termasuk ibu hamil dari komunitas Rohingya dan Rakhine, datang ke klinik kami untuk mendapatkan layanan kesehatan dasar. Kembalinya kegiatan ini hanyalah sebagian kecil dari kebutuhan medis masyarakat di sana. Namun, masih ada kebutuhan medis dan kemanusiaan lainnya yang belum terpenuhi di wilayah lain di Rakhine dan negara ini.

    MSF menjaga netralitas dan ketidakberpihakan atas nama etika medis universal dan hak atas bantuan kemanusiaan. Kami bertujuan untuk memberikan kebebasan penuh dan tanpa hambatan dalam menyediakan perawatan medis bagi mereka yang membutuhkan. Namun, bagaimana kami tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kami sembari menjangkau mereka yang paling membutuhkan bantuan kami di Myanmar?

    Situasi kemanusiaan di Myanmar semakin genting. Berbagai upaya diplomatik dari Jepang, Cina, India, serta Thailand dan negara-negara ASEAN lainnya sangat diperlukan untuk membantu organisasi-organisasi kemanusiaan menjangkau kembali mereka yang membutuhkan. Selain itu, semua pihak yang terlibat dalam konflik harus melindungi warga sipil dan fasilitas medis. Derita rakyat Myanmar, di mana lebih dari 18 juta orang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka termasuk akses ke layanan kesehatan, tidak boleh diabaikan. 

    Shinjiro Murata
    Direktur Jenderal MSF Jepang

    Shinjiro Murata adalah Direktur Jenderal Doctors Without Borders Jepang. Sejak bergabung dengan Doctors Without Borders pada tahun 2005, ia telah bekerja di berbagai proyek lapangan Doctors Without Borders termasuk di Suriah, Sudan Selatan, dan Yaman sebagai Kepala Misi.