Skip to main content

    Myanmar: 20 Tahun Merawat Orang dengan HIV

    A patient picks up medicines from the pharmacy at the Dawei clinic. Myanmar, September 2012. © Ron Haviv/VII Photo

    Seorang pasien mengambil obat-obatan dari apotek di klinik Dawei. Myanmar, September 2012. Foto © Ron Haviv/VII

    Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) telah menyediakan layanan HIV komprehensif di Dawei selama dua dekade, termasuk penyuluhan untuk mencegah infeksi HIV pada kelompok marginal dan berisiko, seperti pekerja migran dan pengguna narkoba melalui suntikan. Di Myanmar, epidemi HIV/AIDS membawa malapetaka di tahun 2000, dan orang yang hidup dengan HIV sangat kesulitan mengakses perawatan. Klinik Doctors Without Borders di Dawei didirikan untuk menyediakan pengobatan gratis, guna memberi orang dengan HIV harapan akan kehidupan yang lebih baik.

    Pada akhir 2023, pasien yang menerima perawatan melalui proyek HIV Doctors Without Borders di Dawei akan dialihkan ke Program AIDS Nasional (NAP) bersama dengan sumber daya Doctors Without Borders yang memang dialokasikan untuk mendukung program tersebut.

    Setelah sempat tertunda selama dua tahun terakhir, serah terima ini menandai kemajuan dari Rencana Strategis Nasional tentang pengalihan layanan HIV menuju peningkatan manajemen sektor publik yang lebih baik, khususnya yang berkaitan dengan terapi antiretroviral (ART). Meski demikian, masih banyak tantangan yang harus dihadapi akibat runtuhnya sistem layanan kesehatan publik di tahun 2021, yang menunda penyerahterimaan tersebut.

    Menutup 20 tahun pelayanan langsung Doctors Without Borders kepada pasien HIV di Dawei

    Selama bertahun-tahun, proyek Dawei telah membantu orang dengan HIV lewat banyak cara, mulai dari tes dan pengobatan, hingga dukungan antar rekan untuk mengelola penyakit dan menangani stigma yang dirasakan banyak pasien.

    Pada 2020, sama seperti negara-negara lain di dunia, proyek ini juga menghadapi tantangan Covid-19, menyebabkan gangguan besar dalam pengobatan bagi orang-orang yang dirawat. Larangan bepergian membawa dampak yang sangat buruk bagi pasien HIV di Dawei, karena sebagian besar tinggal di daerah pedesaan dan banyak yang tinggal di kepulauan di sepanjang garis pantai.

    Ma Mi Mi ingat bagaimana “COVID-19 terjadi, dan kapal tidak berlayar lagi, dan saya tidak dapat kembali [ke klinik]. Saya tidak bisa mendapatkan obat selama sekitar tiga bulan.”

    A patient receives treatment in the Doctors Without Borders clinic in Dawei. Myanmar, April 2014. © Eddy McCall

    Seorang pasien mendapat perawatan di klinik Doctors Without Borders di Dawei. Myanmar, April 2014. © Eddy McCall

    Pada Januari 2021, Doctors Without Borders mulai memindahkan pasien ke NAP untuk dirawat. Satu bulan kemudian, Myanmar mengalami pergolakan politik ketika militer menggantikan pemerintahan terpilih. Menanggapi pengambilalihan ini, petugas kesehatan di seluruh Myanmar melakukan pemogokan. Meskipun sistem layanan kesehatan publik sudah menghadapi tantangan besar dalam pemenuhan tenaga kerja, kurangnya anggaran belanja pemerintah serta blokade impor juga menambah masalah kurangnya layanan kesehatan di Myanmar.

    Pengalihan pasien tersebut pun ditunda dan Doctors Without Borders mulai mendaftarkan pasien baru dalam program HIV Dawei untuk pertama kalinya sejak tahun 2019. Hanya beberapa bulan kemudian, pada Juni, tim Doctors Without Borders di Dawei menerima surat dari pemerintah daerah untuk menghentikan semua aktivitas. Saat itu, Klinik Dawei telah memberikan ART kepada 2.162 orang dengan HIV. Meskipun Doctors Without Borders berhasil memulai layanannya kembali setelah jeda dua minggu, penangguhan tersebut membatasi dukungan dari organisasi non-pemerintah (LSM) internasional dan lokal lainnya untuk masyarakat di distrik tersebut.

    Tahun ini, Doctors Without Borders kembali melanjutkan serah terima pasien HIV ke NAP dan kembali mampu menyediakan ART. Namun, Doctors Without Borders tetap berkomitmen bahwa mulai 2024, mereka akan bekerja dalam sebuah Model Dukungan bersama dengan NAP. Di Dawei, semua pasien akan selesai dipindahkan pada akhir 2023. Hal ini menandai langkah besar menuju arah yang benar dan harapannya, dengan berfungsinya NAP, pasien tidak perlu melakukan perjalanan jauh untuk menuju klinik, dan membantu kepatuhan mereka untuk berobat.

    Doctors Without Borders staff manages the daily routines, registers patients coming in for consultation, and files the folders corresponding to the various patients. Myanmar, February 2012. © Matthieu Zellweger

    Staf Doctors Without Borders tengah melakukan rutinitas sehari-hari, mendaftarkan pasien yang datang untuk konsultasi, dan mengarsipkan folder sesuai dengan rujukan pasien. Myanmar, Februari 2012. © Matthieu Zellweger

    Menerima pengobatan HIV di Myanmar

    Bagi Gay Gay* (nama telah diubah), yang hidup dengan HIV, ketersediaan klinik selalu menjadi salah satu hal yang paling sulit ditemui.

    “Ketika saya masih muda dan pertama kali mengetahui penyakit ini, saya harus mengalami banyak kesulitan karena tidak ada klinik atau rumah sakit untuk dikunjungi dan menerima pengobatan. Saya harus pergi ke desa lain untuk berobat. Saya kembali ke Dawei karena pengobatan yang saya terima tidak efektif dan tidak membawa hasil yang baik.”

    Ketika saya kembali ke Dawei, saya mengetahui klinik Myittaryeik dari Doctors Without Borders, namun saat itu mereka belum memiliki klinik tetap. Para dokter hanya berkunjung ke rumah pasien untuk memberikan perawatan medis. Seiring berjalannya waktu, saya semakin dekat dengan para dokter dan suster tersebut dan saya menerima obat-obatan dan perawatan medis yang berkualitas dan sejak itu saya merasa lebih sehat. Dahulu sulit untuk mendapatkan perawatan medis karena hanya ada klinik Myittaryeik, namun sekarang tidak lagi demikian. Sekarang ada klinik lain yang tersedia. Dan saya juga bisa pergi ke kota lain di luar Dawei untuk berobat, baik di Yangon atau Mandalay.
    Gay Gay*, pasien

    “Saya pertama kali meminum obat sejak berusia 13 tahun dan pindah ke Yangon untuk mengenyam pendidikan sekolah menengah. Saat itu, saya telah menerima perawatan di Yangon selama delapan tahun berturut-turut,” lanjut Gay Gay*.

    “Pasien dengan HIV yang mendapat pengobatan dapat meningkatkan kesehatannya dan menjalani kehidupan normal seperti orang lain. Saat ini, banyak hal telah berubah tentang persepsi akan orang dengan HIV. Dulu, mendapatkan perawatan medis yang tepat merupakan tantangan, namun semua itu telah berubah dengan tersedianya banyak klinik dan rumah sakit yang menyediakan layanan tes dan pengobatan. Sekarang lebih mudah untuk pergi ke klinik dan menerima pengobatan.”

    “[Meski begitu] ada sejumlah tantangan dalam menjalani hidup sebagai orang dengan HIV-positif di Myanmar. Beberapa orang berjuang untuk mendapatkan penghidupan yang layak atau mata pencaharian karena situasi keluarganya, sembari mempertimbangkan transportasi ketika pergi ke klinik,” kata Gay Gay*.

    A patient under HIV/TB care. Myanmar, December 2018. © MSF/Scott Hamilton

    Seorang pasien dalam perawatan HIV/TB. Myanmar, Desember 2018. © MSF/Scott Hamilton

    Pemindahan dan pembentukan kembali proyek

    Kali ini, perpindahan tersebut terlihat sedikit berbeda dibandingkan serah terima awal yang dihentikan pada 2021. Masih banyak celah dalam sistem layanan kesehatan publik, khususnya terkait staf. Dengan terbatasnya sumber daya air dan sanitasi, klinik-klinik kesulitan untuk beroperasi dengan lancar, meskipun ada dukungan dari organisasi seperti Doctors Without Borders.

    Penduduk Dawei terdiri dari banyak migran yang bekerja dalam jangka waktu lama, seperti Ko Maung Myint*, yang bekerja di operasi penangkapan ikan laut dalam di Kawthaung.

    “Dulu, saya bisa mendapatkan obat untuk enam bulan sekaligus sehingga saya bisa bekerja lima bulan lagi dan kembali ke sini selama satu bulan. Saya harus bepergian untuk bekerja, jadi Program AIDS Nasional tidak nyaman bagi saya karena hanya menyediakan waktu dua bulan.”

    Tanpa pengobatan yang cukup, pasien harus mengunjungi klinik terus menerus. Pergerakan di banyak wilayah Tanintharyi dan Myanmar saat ini sangat sulit dan berbahaya, dan konflik kekerasan kembali meningkat. Petugas dan fasilitas layanan kesehatan kerap menjadi sasaran penyerangan di Myanmar. Lebih dari 1000 serangan terhadap layanan kesehatan telah dilaporkan sejak kudeta terjadi. 1

    Meskipun RAN semakin membaik dan dukungan dari organisasi seperti Doctors Without Borders sangat membantu, apa yang terjadi di Myanmar berdampak besar terhadap pasien HIV.

    Tanpa jalur pasokan yang bebas hambatan bagi semua orang, termasuk sistem publik, dan tanpa mobilisasi semua sumber daya medis yang tersedia di Dawei dan sekitarnya, orang yang menjalani perawatan HIV akan terus terkena dampak akibat kurangnya pengobatan rutin.

    Doctors Without Borders menyambut baik kesempatan untuk terus mendukung klinik NAP guna memastikan kualitas layanan bagi pasien HIV di Myanmar.


    Doctors Without Borders telah bekerja di Myanmar sejak 1992 dan merupakan LSM internasional pertama yang hadir di negara tersebut. Pada 1994, Doctors Without Borders mulai memberikan layanan untuk HIV/AIDS dan pendidikan kesehatan di Yangon, serta pemeriksaan dan pengobatan penyakit menular seksual. Pada 2002, Doctors Without Borders menjadi penyedia pengobatan antiretroviral pertama di negara tersebut dan pernah menjalankan program pengobatan HIV terbesar di Myanmar.

    1. Insecurity Insight: https://reliefweb.int/report/myanmar/tragic-milestone-more-1000-attacks-health-care-myanmar-february-2021-military-coup