Pembantaian di Mediterania adalah dampak langsung dari kebijakan negara Eropa
Kapal pencarian dan penyelamatan, Open Arms, adalah satu-satunya kapal penyelamat LSM yang saat ini melakukan pencarian dan penyelamatan jiwa di laut Mediterania tengah. Mediterania, September 2020. © MSF/HANNAH WALLACE BOWMAN
Beberapa hari terakhir telah terjadi salah satu episode paling mematikan di Laut Mediterania tengah tahun ini, dengan lebih dari 100 orang meninggal di laut dalam empat kapal karam terpisah selama kurang dari 72 jam. Enam kapal penyelamat LSM tetap ditahan di pelabuhan oleh otoritas Italia dan Eropa, saat tim Doctors Without Borders di Libya membantu tiga perempuan penyintas yang diselamatkan oleh nelayan kemarin, setelah sebuah perahu kayu terbalik dan menyebabkan 20 lainnya tewas atau hilang di dalam air.
“Cukup sudah penyesalan kosong menanggapi pembantaian yang terjadi,” kata Penasihat Urusan Kemanusiaan Doctors Without Borders Hassiba Hadj Sahraoui. "Tanggung jawab atas kematian ini jelas berada pada negara-negara anggota UE, sebagai hasil konkret dan tak terelakkan dari kebijakan tak-membantu mereka yang mematikan dan penahanan kapal penyelamat LSM yang masih berlangsung."
"Pemerintah Eropa atau Komisi Uni Eropa yang mengatakan bahwa mereka berduka dengan kematian yang mengerikan ini adalah benar-benar munafik," kata Hadj Sahraoui. "Mereka perlu berhenti bicara berbelit-belit dan mengakui tanggung jawab mereka: kapal karam seperti ini adalah akibat dari pendekatan mereka terhadap migrasi."
Hampir 700 orang tewas dalam upaya mereka melarikan diri dari Libya melintasi Mediterania tengah sepanjang 2020, dan setidaknya 267 kematian telah dilaporkan sejak Sea-Watch 4 ditahan oleh otoritas Italia di pelabuhan Palermo pada 19 September. Dengan enam kapal LSM yang dicegah melanjutkan operasi penyelamatan jiwa berkedok kekhawatiran keamanan navigasi, kapal penyelamat Open Arms saat ini menjadi satu-satunya kapal sipil yang dapat beroperasi.
Alih-alih memenuhi kewajiban internasional dan maritim mereka untuk membantu mereka yang mengalami kesulitan di laut, negara-negara Eropa telah memilih untuk semakin memangkas kapasitas pencarian dan penyelamatan. Mereka terlibat dalam sandiwara menyambut atau mengakui nilai tugas penyelamatan jiwa dari berbagai LSM, sambil mendalangi atau mendukung kriminalisasi mereka.
Pencegatan oleh penjaga pantai Libya sementara itu telah melonjak dalam beberapa pekan terakhir, dengan hampir 1.000 orang dikembalikan secara paksa ke Libya antara 3 dan 9 November; ini menunjukkan tingginya jumlah orang yang mencoba melarikan diri dari Libya dalam beberapa pekan terakhir.
Bidan Marina mengukur suhu orang-orang di dek Sea-Watch 4. © MSF/HANNAH WALLACE BOWMAN
Dokter Aniek dan Perawat Alex memberi pengarahan pada orang-orang di kapal Sea-Watch 4 terkait protokol COVID-19, menjelaskan mengapa langkah dan tindakan pencegahan khusus diterapkan agar menjaga orang-orang tetap aman. © MSF/HANNAH WALLACE BOWMAN
"Kondisi tidak manusiawi di dalam pusat-pusat penahanan Libya telah dikecam berkali-kali," kata William Hennequin, manajer program Doctors Without Borders untuk Libya. “Namun penahanan sewenang-wenang hanyalah sebagian kecil dari lingkaran maut kekejaman di mana ribuan orang rentan saat ini terjebak. Para pemimpin negara yang menggalakkan dan mendukung pencegatan dan pengembalian tersebut harus melihat sendiri hasil dari kebijakan mereka."
"Minggu lalu, seorang anak laki-laki Eritrea berusia 15 tahun tertembak mati setelah orang-orang bersenjata menyerbu tempat penampungan di Tripoli," kata Hennequin. “Pembunuhan, penculikan, kekerasan ekstrem - termasuk penyiksaan untuk memeras uang dari para tawanan dan kerabat mereka - tetap menjadi ancaman sehari-hari yang akan terus mendorong orang-orang yang rentan menyeberangi laut untuk menghindari pelecehan ini tanpa ada cara lain yang lebih aman untuk dilakukan.”
Pada hari Rabu, Frontex, Badan Penjaga Pantai dan Perbatasan Eropa, menyatakan bahwa mereka “berkomitmen untuk menyelamatkan nyawa di laut melalui kerja sama yang erat dengan semua pelaku operasional”. Namun, ini menutupi kenyataan bahwa mereka selalu menolak berbagi informasi dengan kapal penyelamat LSM terkait kapal yang mengalami kesulitan, sementara justru mengirimkan lokasi ke Penjaga Pantai Libya, sehingga kapal-kapal tersebut dapat terjebak dan secara paksa dikembalikan ke Libya.
Negara-negara Eropa harus berhenti menyalahkan hilangnya nyawa ini hanya pada perdagangan manusia yang tak berperasaan. Sebaliknya, mereka harus menerima bahwa hilangnya nyawa secara massal dalam insiden-insiden ini adalah tumbal manusia atas pengambilan keputusan politik yang mereka perhitungkan sendiri. Perdagangan manusia harus diberantas, tapi tidak dengan menumbalkan para korban yang, bukannya menerima bantuan dan perlindungan hidup, malah terjebak dan didorong kembali ke dalam lingkaran pelecehan. Atau dibiarkan begitu saja.