"Terkadang rasanya seperti tidak ada yang peduli dengan Sudan."
Sudan Selatan, Oktober 2024. © Paula Casado Aguirregabiria/MSF
Dr. Bashir telah bekerja di beberapa proyek Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) di Sudan, termasuk mengawasi kegiatan medis di rumah sakit Umdawanban dan Alban Aljadeed yang didukung oleh Doctors Without Borders di negara bagian Khartoum, Sudan. Saat ini, dia bekerja bersama Doctors Without Borders di negara bagian Warrap, Sudan Selatan, di mana tim kami menyediakan perawatan komprehensif di kabupaten Twic dan kota Abyei di beberapa fasilitas, serta mendukung situs manajemen kasus terpadu di kamp pengungsi. Dia merenungkan dampak mengerikan dari perang di Sudan dan menekankan pentingnya perhatian berkelanjutan terhadap konflik tersebut.
"Apakah kamu ingat saya? Saya Dr. Mohamed Bashir, mantan Wakil Koordinator Medis Doctors Without Borders di Sudan. Saya pernah menulis sebuah refleksi berjudul The Healing Hands of Sudan, di mana saya membagikan pengalaman langsung saya tentang perang saudara—bukan hanya sebagai pekerja kemanusiaan medis tetapi juga sebagai warga Sudan.
Saya masih bersama Doctors Without Borders, namun sekarang bertugas di Sudan Selatan, di seberang perbatasan dari tanah kelahiran saya. Meskipun secara fisik jauh, dampak perang itu tetap terasa, menarik saya kembali setiap kali mendengar berita terbaru, membandingkan kehancuran yang saya dengar dengan tajuk berita global yang seakan nyaris tak memberi perhatian."
Sudan dan rakyatnya yang menderita telah terpinggirkan dari daftar prioritas dunia—dilupakan oleh media, diabaikan oleh kehendak politik, dan diacuhkan oleh lembaga donor kemanusiaan yang seharusnya menempatkan bencana ini sebagai perhatian utama. Saya bertanya pada diri sendiri: Apa yang bisa saya lakukan sebagai individu? Tekad saya jelas—saya akan terus mendukung mereka yang tertindas oleh perang brutal ini.Dr. Mohamed Bashir
Di Kabupaten Twic, Sudan Selatan, banyak pasien kami adalah warga Sudan Selatan yang kembali setelah mengalami pengungsian dua kali dalam sekitar satu dekade. Ribuan pengungsi asal Sudan juga telah menyeberang ke berbagai wilayah di Sudan Selatan, tersebar di komunitas tuan rumah atau berdesakan di kamp-kamp pengungsi.
Seorang perempuan pengungsi menggendong anaknya saat berlindung di Kamp Alsafat di negara bagian Al Jazirah. 'Saya khawatir tentang masa depan anak-anak saya. Saya berpikir untuk kembali ke Abyei agar bisa memberikan pendidikan bagi mereka. Tetapi jika perang berakhir, saya akan segera kembali ke Khartoum dan ke rumah saya, dan suami saya bisa bekerja lagi,' katanya. Sudan, Desember 2023. © Fais Abubakr
Aku mengenal rasa sakit ini.
Perang ini terus menyiksa kami, merobek keluarga-keluarga, memisahkan satu sama lain. Mereka yang melarikan diri dari Sudan membawa cerita yang sama—kehilangan, ketidakpastian, dan harapan damai yang kian memudar. Aku sangat memahami rasa sakit ini.
Perbatasan dalam negeri dan garis depan yang dikendalikan oleh pihak-pihak yang bertikai telah membelah sebuah negara, di mana nyawa-nyawa melayang, rumah-rumah hancur, dan mata pencaharian lenyap.
Dan kami, rakyatnya—ditinggalkan sendirian.
Keluargaku melarikan diri dari Khartoum, di antara jutaan orang yang mengungsi, bukan hanya sekali tetapi berkali-kali dalam 18 bulan terakhir. Mereka meninggalkan segalanya tanpa jalan yang jelas untuk bertahan hidup, dan dengan sedikit perhatian dari dunia. Kami masih menderita akibat hilangnya salah satu kerabatku, seorang warga sipil yang diambil dari rumahnya oleh pihak yang bertikai lebih dari 10 bulan lalu. Kami tidak memiliki kabar—tidak tahu bagaimana kondisinya atau apakah dia akan pernah dibebaskan.
Bahkan bagi mereka yang berhasil melarikan diri dari kekerasan atau bertemu kembali setelah perpisahan, tantangan baru muncul—banjir, wabah penyakit—dalam sistem kesehatan yang telah runtuh. Sebagian besar rumah sakit hancur. Rumah sakit yang masih berfungsi pun terisolasi tanpa obat-obatan, tenaga medis, atau sumber daya. Ini adalah pengabaian yang disengaja; sebuah taktik perang yang kejam.
Dengan bertahan hidup dalam kondisi minim, rakyat dibiarkan menunggu keajaiban, atau yang lebih mungkin—pengungsian kembali, atau yang lebih buruk: kematian.
Para pasien berdatangan di Rumah Sakit Bashair karena ini adalah satu-satunya rumah sakit yang dapat diakses di selatan Khartoum. Sudan, Mei 2023. © MSF/Ala Kheir
Jangan berpaling.
Meski semua ini, saya di sini untuk berbagi ketahanan kami. Sebagai pekerja kemanusiaan—dokter, logistik, dan perawat—kami melakukan segala yang kami bisa untuk mendukung mereka yang membutuhkan. Setiap tindakan kecil berarti, dan setiap usaha dihitung.
Ini tepatnya yang saya lakukan selama beberapa bulan terakhir di Twic sebagai referen medis proyek Doctors Without Borders di Rumah Sakit Kabupaten Mayen Abun. Wilayah ini sudah tertekan oleh kebutuhan kemanusiaan, setelah sebelumnya menyaksikan pengungsian internal ribuan warga Sudan Selatan yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat kekerasan antarkomunitas di Agok pada 2022. Ini adalah tempat di mana sistem kesehatan telah runtuh, terbebani oleh malaria, hepatitis E, dan malnutrisi.
Pekerjaan di sini memberikan pandangan ke dimensi lain dari perang di negara saya. Saya melihat langsung kondisi mengerikan yang dihadapi oleh mereka yang terpaksa melarikan diri dari Sudan. Yang lebih mengejutkan lagi adalah betapa krisis ini diabaikan—begitu sedikit pengetahuan umum tentang pengungsian warga Sudan ke Sudan Selatan, Chad, dan negara-negara lain, meskipun kebutuhan keluarga yang mencari perlindungan begitu mendesak.
Kita hidup di masa krisis yang semakin meningkat—baik yang disebabkan oleh manusia maupun alam. Korban perang saat ini, di berbagai tempat dan konteks, hampir terlalu tragis untuk dipahami.
Di tengah semua ini, saya memohon kepada dunia: Jangan biarkan Sudan terlepas dari perhatianmu. Terkadang, rasanya seperti tidak ada yang peduli, seolah-olah Sudan sengaja dipinggirkan oleh para pengambil keputusan global, diabaikan demi krisis lainnya. Seberapa lama lagi kita bisa mentolerir ketidakpedulian ini?Dr. Mohamed Bashir