Opini: Siapa yang akan memperjuangkan Rohingya? Kebijakan ‘Draconian’ terhadap pengungsi harus diakhiri sekarang
Pengungsi Rohingya, Nur Huda dan putrinya Hosna, telah tinggal di tempat penampungan bambu kecil di kamp Jamtoli di distrik Cox's Bazar, Bangladesh, selama lima tahun terakhir. Nur Huda melarikan diri dari desanya di Myanmar bersama enam orang keluarganya setelah kekerasan pecah. “Kami membutuhkan waktu 14 hari untuk mencapai Bangladesh. Anak-anak saya kelaparan dan dehidrasi ketika kami sampai di Bangladesh.” Bangladesh, Juni 2022. © Saikat Mojumder/MSF
Saya telah menghabiskan hampir 30 tahun bergelut di bidang tanggap darurat dan krisis kemanusiaan. Namun, ketika berdiri di 'rumah sakit di atas bukit' kami di Cox's Bazar, Bangladesh, yang saat ini menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia, saya terperangah melihat besarnya kamp darurat ini. Sekumpulan umat manusia yang berada bersama dalam penampungan darurat terbuat dari rangka bambu beratapkan plastik, semuanya berada dalam jarak beberapa kilometer dari pagar kawat berduri.
Lima tahun sudah berlalu sejak dimulainya kekerasan brutal yang dilakukan oleh militer Myanmar, saya ingat seorang ibu Rohingya dengan enam anak yang mengatakan, “Militer membunuh Rohingya secara brutal dan membakar rumah kami… sekarang, kami tinggal di sini di kamp pengungsian. Sudah lima tahun hidup dalam kesusahan…”
Nasib orang Rohingya – yang dipersekusi di Myanmar, hidup terkungkung di Bangladesh, menjadi korban trafficking - diperdagangkan dan hidup sebagai warga illegal - dan hidup sebagai warga ilegal di Malaysia dan di tempat lain – bagaikan panci presto yang sudah mendidih dan sepertinya tidak ada yang mau mengambilnya dari kompor.
Cara memberi bantuan di Bangladesh, satu-satunya negara yang membuka perbatasannya dan menawarkan perlindungan bagi lebih dari 1 juta orang Rohingya, semakin tidak jelas kelanjutannya karena pendanaan yang tidak pasti. Lima tahun kemudian, respons kemanusiaan harus beralih dari penyediaan layanan darurat minimum ke layanan jangka panjang yang mencerminkan realitas resettlement (penempatan ke negara ketiga).
Bagi Bangladesh, perubahan kebijakan ini tetap tidak bisa diterima. Dengan alasan kebaikan bersama, mereka ingin Rohingya kembali ke Myanmar, yang telah mencabut kewarganegaraan mereka 40 tahun lalu. Hal ini juga diinginkan oleh hampir setiap orang Rohingya yang saya ajak bicara. Tetapi negara itu masih menghadapi perang di dalam negerinya sendiri sejak militer merebut kekuasaan pada Februari 2021, dan di Rakhine, ketegangan antara militer Myanmar dan tentara Arakan meningkat. Tim kami di lapangan mengetahui secara langsung bahwa kondisi mereka yang tetap berada di Rakhine sangat tidak aman, dan untuk saat ini, pemulangan yang aman ke wilayah ini bukanlah pilihan yang bertanggung jawab.
Selain itu, lintas wilayah, Rohingya diperlakukan sebagai warga ilegal dan dieksploitasi oleh mereka yang mencari keuntungan dari status mereka yang genting. Di Malaysia dan Indonesia, mereka yang datang dengan perahu ditolak di laut, dan beberapa dibiarkan terombang-ambing selama berbulan-bulan sehingga ada beberapa orang yang mati karena panas dan kelaparan. Pada bulan April tahun ini, lebih dari 500 orang Rohingya melarikan diri dari pusat penahanan di Malaysia, diduga karena kondisi tempat tinggal yang buruk dan kurangnya akses pada layanan medis.
Bangladesh merasa tidak adil atas beban tanggung jawab yang mereka pikul sendirian. Saya setuju dengan Bangladesh, Negara-negara Regional menjadi bagian dari masalah karena mereka lebih memilih bertahan mengamankan perbatasan masing-masing daripada menemukan solusi bersama. Rasanya ASEAN seperti telah kehabisan tenaga, tidak berusaha mencoba solusi baru dan tidak ada yang mau memperjuangkan untuk keluar dari masalah politik yang rumit.
Wabah skabies di kamp-kamp dan meningkatnya jumlah kasus demam berdarah menunjukkan betapa pentingnya kebutuhan kesehatan darurat bagi penduduk. Sementara, meningkatnya konsultasi kesehatan mental dan penyakit tidak menular di fasilitas Doctors Without Borders / Médecins sans Frontières (MSF) mengindikasikan krisis yang berkepanjangan. Di Cox's Bazar, para profesional kesehatan mental kami memberi tahu saya betapa mereka sangat terkuras emosinya ketika mengetahui bahwa mereka tidak dapat mengubah akar masalah kondisi kesehatan mental orang. Di akhir sesi psikososial, pasien kami kembali pada situasi keadaan tanpa prospek, berada di kamp-kamp penuh sesak yang semakin tidak aman.
Sangat mudah untuk mengatakan bahwa respons saat ini telah berhasil. Respons ini telah mengurangi hilangnya nyawa, meringankan penderitaan terburuk, dan menciptakan keteraturan dari kekacauan. Tetapi kita harus bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita turut terlibat dalam sistem penahanan (represi? bahkan apartheid?) untuk populasi yang tidak punya tempat lain untuk dituju?
Kenyataannya adalah kita menjadi substitusi kegagalan Myanmar untuk memperbaiki kesalahannya. Kita juga mencoba untuk menerima keadaan politik yang stagnan, ketidakberdayaan dari Negara-negara regional untuk maju secara kolektif dan Komunitas Internasional untuk menemukan solusi jangka panjang atau solusi sementara yang lebih baik.
Dari semua ini, tetap Rohingya sangat berterima kasih kepada Bangladesh karena telah memberikan tempat berlindung, meskipun situasi mereka tampaknya tidak ada harapan. Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai tidak memiliki kewarganegaraan atau Stateless, sebaliknya, mereka merasa ditolak hak kewarganegaraannya di sebuah Negara dan wilayah yang secara historis mereka identifikasi sebagai negara mereka. Mayoritas mengatakan mereka ingin kembali, tetapi mereka tidak akan mengambil risiko berulangnya sejarah di mana anak-anak mereka dapat diambil kapan saja, tidak pernah terlihat lagi.
Melihat keluar dari Rumah Sakit Doctors Without Borders di Bukit, saya menyadari kita semua harus bangkit melawan perasaan keputusasaan bahwa ini tidak dapat diperbaiki. Ada hal-hal yang bisa dilakukan. Awal yang baik adalah mengakhiri kebijakan ‘draconian’ yang kejam bagi para pengungsi yang dipraktikkan di seluruh wilayah.
Pemerintah baru Australia dapat menentukan kebijakan untuk kemanusiaan dan solidaritas, dimulai dengan Rohingya. Mereka dapat memulai dengan membuka jalur resettlement warga Rohingya dari Malaysia dan Bangladesh. Australia dapat mengkalibrasi ulang dukungan anti-perdagangan manusia di seluruh kawasan agar lebih mengakomodasi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai pengungsi dan berhak mendapatkan perlindungan ekstra.
Malaysia dan Thailand harus lebih akomodatif terhadap pengungsi. Mereka tidak dapat diperlakukan seperti irregular migrant yang hanya memiliki motif ekonomi. Meski keduanya sangat rentan, pengungsi mencari perlindungan dari penganiayaan dan membutuhkan perlindungan khusus.
Saluran diplomatik dengan Myanmar harus tetap terbuka, dan pendekatan regional dan internasional yang lebih kuat dan koheren dengan Myanmar harus dilakukan, dengan China di garis depan. China dapat memimpin dalam negosiasi kembalinya Rohingya dengan aman dari Bangladesh, tetapi harus dipertimbangkan juga bagaimana adanya pemberian kompensasi atas hilangnya harta benda dan mata pencaharian warga Rohingya dalam negosiasi tersebut. Pengembalian harus lebih dari sekadar fasad politik dan harus menyelesaikan masalah Rohingya sendiri.
Jika kita gagal untuk memastikan kembalinya mereka dengan aman ke Myanmar, saya khawatir apa yang akan terjadi di masa depan. Berapa lama orang dapat hidup dengan perlindungan dasar dan harapan yang sangat sedikit? Trauma bersifat kumulatif. Setelah empat puluh tahun tanpa kewarganegaraan dan hidup dalam ketidakadilan, saya khawatir perawatan yang kami berikan hanya berhasil membuat orang tetap hidup untuk hidup dalam keputusasaan.
Doctors Without Borders adalah organisasi kemanusiaan medis internasional independen yang memberikan bantuan medis darurat kepada orang-orang yang terkena dampak konflik, epidemi, perawatan kesehatan, dan bencana alam atau buatan manusia.
Paul McPhun saat ini menjabat sebagai Direktur Doctors Without Borders / Médecins sans Frontières (MSF) regional South-East & East Asia Pacific Partnership (SEEAP) yang meliputi Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif MSF Australia dari 2010 hingga 2020, dan telah bekerja dalam berbagai keahlian di proyek Doctors Without Borders sejak 1997.