Normalisasi kekerasan terhadap pengungsi dan migran telah mengakar
Orang-orang yang diselamatkan dari Mediterania tengah menunggu di kapal pencarian dan penyelamatan Doctors Without Borders, Geo Barents, menuju pelabuhan yang aman untuk turun dari kapal. Laut Mediterania, Maret 2022. © MSF
“Saya dan saudara laki-laki saya berjalan kaki dari Afghanistan, dan mencoba melintasi perbatasan antara Italia dan Prancis untuk berkumpul dengan keluarga kami di Jerman. Pada malam hari di jalur pegunungan, polisi mulai mengejar kami, dan ketika mencoba melarikan diri, kami terjatuh ke jurang... kami kehilangan semua yang kami miliki. Kami harus melintasi Turki, Yunani, dan Balkan untuk mencapai tempat di mana kami merasa aman. Kami tidak menyangka harus terus berlari bahkan setelah tiba di Eropa.” Ini adalah kata-kata seorang pasien Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) dari proyek di Ventimiglia, Italia, yang menggambarkan konsekuensi yang dihadapinya sebagai akibat dari krisis yang disebabkan kebijakan yang terjadi di seluruh Eropa dan kawasan perbatasannya dalam beberapa tahun terakhir.
Tim medis dan kemanusiaan Doctors Without Borders telah menangani dampak yang merusak dari kebijakan pembatasan migrasi dan praktiknya serta telah melihat langsung korban jiwa yang diakibatkannya. Kami telah merespons kejadian di negara-negara seperti Libya, Balkan, Laut Mediterania Tengah, Polandia, Yunani dan Italia, yang menjadi laboratorium dan tempat pengujian bagi kebijakan dan praktik yang semakin merugikan itu. Apa yang telah kami lihat dan ketahui antara Agustus 2021 dan September 2023 telah dituangkan dalam laporan Kematian, Keputusasaan dan Kemiskinan: Kerugian Manusia Akibat Kebijakan Migrasi Uni Eropa atau Death, despair and destitution: the human costs of the EU's migration policies. [Read the summary]
Dicegat dan dijebak
Orang-orang yang mencari keselamatan seringkali terjebak di negara-negara non-Uni Eropa yang memiliki perjanjian kerja sama migrasi Uni Eropa, tanpa akses terhadap layanan kesehatan dan perlindungan. Misalnya, masih ada kekhawatiran serius seputar tindakan penjaga pantai Libya saat melakukan intersepsi atau pencegatan di laut, di mana, dalam beberapa kasus, membahayakan nyawa orang-orang yang tengah kesulitan. Kekerasan selama intersepsi rutin dilaporkan ke Doctors Without Borders oleh pasien di Libya dan di kapal pencarian dan penyelamatan Geo Barents.
Sejak 2016 hingga 2021, jumlah orang yang mencoba meninggalkan Libya dengan perahu dan dipulangkan secara paksa ke negara tersebut melonjak menyusul keluarnya Uni Eropa dan negara-negara anggotanya dari operasi pencarian dan penyelamatan, serta deklarasi Libyan Search and Rescue Region (SRR) pada 2017. Uni Eropa menginvestasikan lebih dari €70 juta untuk pengelolaan perbatasan Libya.
Seorang laki-laki berusia 18 tahun dari Kamerun, yang diselamatkan oleh Doctors Without Borders di Laut Mediterania pada tahun 2022 menceritakan kisahnya.
Saya berlayar bersama 83 orang, menggunakan perahu karet berwarna putih. Seorang wanita sedang hamil. Pada pukul 7:30 malam, kami melihat orang-orang Libya di belakang kami. Mereka mendatangi kami dan berkata, ‘Berhenti, atau kami tembak.’ Kami berkata tidak, kami tidak bisa berhenti. Mereka mengelilingi kami saat kami mencoba melarikan diri. Kapten menolak untuk berhenti. Mereka menembak perahu untuk mengempiskannya. Air masuk ke dalam. Maka kami tidak punya pilihan. Mereka melemparkan tali dan tetap berada di atas kami sambil berteriak dan menghina kami. Kami membantu para wanita naik ke kapal Libya. Kami harus mendaki dengan cepat. Air masuk ke dalam perahu hingga tenggelam. Dua bersaudara, seorang warga Mali dan Guinea, tenggelam begitu saja.Laki-laki berusia 18 tahun dari Kamerun
Sekembalinya ke Libiy, orang-orang biasanya langsung dipindahkan ke fasilitas penahanan. Migran dan pengungsi di Libya ditahan secara sewenang-wenang di pusat detensi yang tidak teratur, di mana tidak ada jaminan akses terhadap layanan kesehatan. Antara Januari 2022 dan Juli 2023, Doctors Without Borders menyediakan 23.769 konsultasi layanan kesehatan dasar di delapan pusat penahanan di Libya barat. Tim Doctors Without Borders melihat individu-individu yang sangat rentan, termasuk anak-anak tanpa pendamping, orang-orang dengan disabilitas fisik atau penyakit kronis, dan mereka yang selamat dari perdagangan manusia serta penyiksaan.
Jumlah orang yang dicegat oleh penjaga pantai Tunisia juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain dicegat di laut dan dikembalikan secara paksa ke Tunisia, orang-orang juga dihalangi dan kemudian diusir ke negara tetangga Libya dan Aljazair. Di Nigeria, tim Doctors Without Borders telah membantu orang-orang yang diusir dari Tunisia ke Aljazair dan didesak ke gurun Nigera.
Pada 16 November 2021, 99 orang yang selamat diselamatkan oleh Geo Barents sekitar 30 mil dari pantai Libya. Di dasar perahu kayu yang penuh sesak itu, 10 orang ditemukan tewas. Laut Mediterania, November 2021. © Virginie Nguyen Hoang/Collectif HUMA
Dihalangi di perbatasan Uni Eropa
Kendati ada upaya untuk membendung migran dan pengungsi di negara-negara non-Uni Eropa, mereka terus menyeberangi lautan dan daratan untuk mencari keselamatan serta perlindungan. Namun, di perbatasan laut dan darat Uni Eropa, mereka dihadapkan pada pagar kawat berduri dan penyiksaan fisik yang brutal, bukannya penyelamatan dan bantuan. Tembok dan pagar perbatasan Uni Eropa saat ini membentang sepanjang 2.000 kilometer.
Pasien Doctors Without Borders melaporkan bahwa mereka mengalami penolakan berulang kali sepanjang perjalanan. Insiden-insiden ini biasanya disertai dengan penyerangan fisik, penahanan, penghinaan verbal termasuk penghinaan rasial dan cemoohan, dan bentuk-bentuk perlakuan merendahkan lainnya. Tindakan-tindakan ini sebagian besar dilakukan oleh aktor-aktor negara. Praktik penolakan yang berulang-ulang di negara-negara seperti Polandia, Yunani dan Hungaria telah menempatkan individu yang membutuhkan bantuan pada tingkat risiko yang tidak dapat diterima, baik dari segi kesehatan dan kesejahteraannya.
Karena saya sakit, saya dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Saya benar-benar meminta perlindungan tetapi pada akhirnya, mereka mengembalikan saya ke Belarus tanpa hasil apa pun, sendirian. Dan saya tidak tahu bagaimana menemukan jalan saya tetapi saya bertemu orang-orang dalam perjalanan […] Saya memberi tahu dokter, saya ingin tinggal di sini, saya mencari suaka, tetapi dia berkata kepada saya, 'Sejujurnya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi padamu,' dan penjaga perbatasan datang ke rumah sakit, dan memenjarakan saya selama tiga jam. Dan setelah itu saya kembali ke perbatasan.Pasien di Belarus, 2023
Selain risiko cedera yang ditimbulkan oleh tembok antara Belarus dan Polandia, Doctors Without Borders telah menyaksikan bagaimana orang-orang terjebak di area antara kedua perbatasan tersebut – yang disebut sebagai 'zona kematian' oleh pasien – dalam jangka waktu yang lama, terpapar cuaca yang buruk dan kekerasan, sehingga memperburuk masalah kesehatan fisik dan mental mereka.
Sebuah kamp sementara yang menampung orang-orang yang berpindah telah didirikan di wilayah pangkalan Dinas Keamanan Umum, Rūdninkai. Lituania, September 2021. © Vidmantas Balkunas/BNS
Dihukum dan ditahan
Model ‘hotspot’ yang diterapkan di Yunani dan Italia untuk menampung dan mengidentifikasi cepat orang-orang yang tiba di perbatasan, menerapkan prosedur perbatasan yang cepat, dan memfasilitasi kepulangan yang telah lama menjadi landasan manajemen migrasi Uni Eropa. Selama bertahun-tahun, titik panas itu ditandai dengan krisis dan penderitaan manusia yang berkelanjutan, dengan kurangnya perlindungan dan akses secara terus-menerus terhadap layanan penting seperti air, layanan kesehatan, dan penerimaan yang aman. Namun demikian, Uni Eropa dan pemerintah nasional justru terus meningkatkan pendekatan ini.
Setiap orang menderita tekanan psikologis tingkat dasar, bahkan anak-anak muda. Selalu dengan gejala yang sama: nyeri badan, disosiasi, depresi, gangguan tidur. Orang-orang merasa benar-benar sendirian. Mereka merasa terhina karena hidup dalam kondisi seperti ini.Psikolog Doctors Without Boders, Lesbos
Tim Doctors Without Borders menemukan tiga pencari suaka yang baru tiba diborgol selama intervensi medis darurat di pulau Lesvos, Yunani. Yunani, Oktober 2022. © MSF
Antara Agustus 2021 dan Agustus 2023, tim Doctors Without Borders di Samos menangani 2.900 konsultasi kesehatan mental, di mana 34 persen pasien melaporkan mengalami gejala trauma, sementara 28 persen menunjukkan gejala terkait kecemasan. Gangguan depresi, stres pasca-trauma, dan gangguan kecemasan umum terjadi pada semua kelompok populasi, bahkan pada anak-anak. Penyebab stres sehari-hari seperti kondisi kehidupan yang buruk, prosedur administrasi yang rumit, ketakutan akan deportasi, dan paparan terhadap rasa tidak aman merupakan faktor utama yang berdampak pada kesehatan mental masyarakat.
Pengabaian, pengucilan, dan kemiskinan yang sistemik
Di seluruh Uni Eropa, masyarakat – baik orang dewasa maupun anak-anak – semakin dikucilkan dari sistem penampungan dan perlindungan sehingga terpaksa hidup dalam kondisi yang berbahaya. Negara-negara seperti Belgia, Prancis dan Belanda telah menerapkan kebijakan imigrasi yang semakin tidak bersahabat dengan tujuan menghalangi apa yang mereka sebut sebagai gerakan sekunder. Contohnya adalah fakta bahwa Menteri Suaka dan Migrasi Belgia dan lembaga yang mengurusi penampungan pencari suaka Belgia, Fedasil, telah dihukum lebih dari 8.000 kali oleh pengadilan nasional dan lebih dari 2.000 kali oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa karena gagal menyediakan tempat penampungan.
Setiap hari, polisi menyita selimut dan tenda yang disediakan untuk kami dari organisasi relawan. Saya tidur di tengah hujan, kedinginan. Kami berusaha menghangatkan diri dengan menyalakan api, namun polisi datang untuk memadamkannya dengan alat pemadam kebakaran dan menyiramkan air kepada kami.Pasien di Calais, 2023
Selain itu, negara-negara Eropa, khususnya Prancis, Belgia dan Inggris, meningkatkan penggunaan usia sebagai aspek penilaian tambahan untuk menolak permohonan suaka orang-orang yang mencari keselamatan dan perlindungan khusus lainnya yang ditujukan kepada anak-anak yang bepergian sendirian. Di Prancis, Doctors Without Borders membantu anak-anak di bawah umur tanpa pendamping yang tidak diakui akibat penilaian usia mereka. Kebijakan yang tidak bersahabat ini menambah faktor stres yang signifikan, menghilangkan perlindungan, status administratif, dan perwakilan hukum bagi anak di bawah umur. Ketika mereka tiba di Prancis, banyak dari mereka masih berada di luar sistem perlindungan atau harus menunggu berbulan-bulan sebelum mereka dapat memperoleh manfaat dari layanan dan perlindungan sosial. Tanpa akses terhadap akomodasi, mereka menghadapi bahaya, pengucilan dan jadi tunawisma. Kondisi hidup yang tidak aman ini membuat mereka rentan terhadap risiko kesehatan tambahan berupa gizi buruk, cuaca dingin, kekerasan, eksploitasi seksual, perdagangan manusia dan kecanduan. Sekitar 15 persen anak-anak tanpa pendamping yang menerima dukungan kesehatan mental Doctors Without Borders di Paris, mengaku mengalami kekerasan dan mereka mengatakan hal itu terjadi di Prancis.
Selama bertahun-tahun, Doctors Without Borders telah memberikan peringatan mengenai dampak buruk kebijakan migrasi Eropa, dengan mengeluarkan banyak sekali laporan, siaran pers dan surat yang merekomendasikan penjaminan perlindungan, bantuan dan akses terhadap layanan yang tepat waktu dan berkualitas, bagi orang-orang yang mencoba menjangkau Eropa. Meskipun demikian, peluang untuk melakukan perubahan yang berarti telah terbuang sia-sia, sehingga semakin melekatkan jaringan praktik kekerasan dalam inti kebijakan migrasi Uni Eropa. Uni Eropa harus segera mengatasi akar permasalahan kekerasan ini, dan hal tersebut memerlukan perubahan yang mendesak dan mendasar. Normalisasi kekerasan tidak akan menghalangi orang untuk datang, namun justru akan menyebabkan penderitaan dan kematian yang seharusnya tidak terjadi.
“Kembali ke Suriah? Saya tidak bisa kembali ke Suriah. Itu dia. Tidak ada jalan kembali. Saya terus berjalan. Saya mencoba selama lima bulan untuk pergi… Saya tidak bisa menjelaskan Libya kepada Anda. Jika saya masih hidup, dalam 10 tahun ke depan, saya tidak akan selesai menjelaskanapa yang saya lihat di Libya,” ujar pria dari Suriah diselamatkan oleh kapal Geo Barents SAR pada 2023.