Skip to main content

    Tepi Barat: Warga Palestina di Hebron hidup dalam ketakutan seiring meningkatnya tindak kekerasan

    A Palestinian woman holds tight her daughter in her arms. West Bank, Palestinian Territories, December 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Seorang ibu warga Palestina mendekap erat putrinya. Ia telah menetap selama 25 tahun di kota tua Hebron, salah satu daerah yang paling terkekang di Tepi Barat, Wilayah Palestina yang diokupasi. Tepi Barat, Wilayah Palestina, Desember 2023. © Laora Vigourt/M

    Tempat tinggal Alma di Hebron dihancurkan oleh tentara Israel beberapa hari yang lalu. "Sejak 7 Oktober, keadaan semakin memburuk, tanpa ampun. Penduduk di lingkungan saya sangat terdampak dan hidup dalam ketakutan," katanya.

    Meningkatnya kekerasan dan pelecehan oleh pemukim dan tentara Israel

    Hebron menjadi gambaran nyata penderitaan warga Palestina di bawah kependudukan: merebaknya intimidasi dan kekerasan. Kehidupan sehari-hari masyarakat Palestina diwarnai dengan keterbatasan mobilitas, penggusuran dan pengusiran paksa, penghancuran rumah, penggeledahan dan penangkapan, penghentian kegiatan belajar-mengajar, dan ancaman militer dan pemukim Israel yang berlangsung terus menerus.

    Eskalasi perang Israel-Gaza baru-baru ini justru memperparah aksi kekerasan dan pembatasan yang diberlakukan terhadap warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat. Terhitung sejak tanggal 2 Januari, Kantor PBB bidang Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mencatat setidaknya 198 rumah tangga warga Palestina yang terdiri dari 1.208 jiwa, termasuk 586 anak-anak, telah mengungsi akibat kekerasan dan pembatasan akses di Tepi Barat sejak tanggal 7 Oktober. Mereka merupakan 78 persen dari seluruh pengungsi yang dilaporkan akibat kekerasan dan pembatasan akses sejak awal 2023.

    Sesaat setelah tanggal 7 Oktober, kami menyadari bahwa keadaan berubah lebih mencekam. Akses masyarakat terhadap layanan dasar, termasuk toko-toko dan layanan kesehatan, sangat dibatasi. Penyediaan layanan kesehatan juga terganggu. Akibat ketatnya pembatasan mobilitas dan risiko kekerasan bagi pasien dan staf medis, kami mencatat adanya penurunan 78 persen jumlah konsultasi medis yang dilakukan oleh tim kami pada bulan Oktober 2023, dibandingkan bulan sebelumnya.
    Simona Onidi, Koord. Proyek
    Closed classroom in the old city of Hebron, West bank. West Bank, Palestinian Territories, December 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Ruang kelas yang tertutup di Kota Tua Hebron, Tepi Barat. Dengan meningkatnya kekerasan dan pembatasan mobilitas sejak 7 Oktober lalu, sekolah-sekolah telah ditutup dan anak-anak Palestina harus belajar secara daring, padahal tempat tinggal mereka hanya berjarak ratusan meter dari sekolah. Tepi Barat, Wilayah Palestina, Desember 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Di kota tua Hebron, yang terletak di wilayah Hebron yang dikuasai Israel yang dikenal sebagai (H2), akses masuk dan keluar sangat dibatasi dan tidak dapat diprediksi, sehingga berdampak pada semua aspek kehidupan warga Palestina yang tinggal di sana. H2 sudah lama dikenal sebagai salah satu daerah yang paling dikekang di Tepi Barat, dengan 21 pos pemeriksaan permanen yang dioperasikan oleh pasukan Israel untuk mengatur mobilitas warga Palestina sehingga menyebabkan banyak hambatan bagi petugas kesehatan yang mencoba menjangkau daerah tersebut.

    Pada minggu-minggu pertama perang Israel-Gaza, pasukan Israel memperketat pembatasan mobilitas, membuka pos pemeriksaan selama satu jam di pagi hari dan satu jam di sore hari, dan hanya dilakukan selama beberapa hari dalam seminggu. Terkadang, warga Palestina tidak diizinkan meninggalkan rumah mereka selama empat hari berturut-turut, bahkan untuk membuang sampah atau sekadar membuka jendela.

    "Saya tidak bisa melihat perbedaan tingkat ketegangan saat ini dengan sebelum [perang]. Pemukim dan tentara Israel seolah-olah tidak kenal ampun," ujar Aliyah*, seorang perempuan Palestina dari Tel Rumeida kepada H2.

    "Saya sedang hamil dan pagi ini, misalnya, tentara meminta saya untuk melewati mesin x-ray tiga kali [di pos pemeriksaan]. Saya memohon supaya tidak perlu melewati itu, demi keselamatan bayi saya, tapi mereka tidak mau mendengarkan - seolah-olah mereka tidak percaya bahwa saya hamil," kata Aliyah.

    "Kami semua ketakutan. Banyak orang mengira situasi di Gaza akan terjadi juga di Tepi Barat. Apakah kami yang berikutnya? Kami hanya belum tahu kapan itu akan terjadi," ujar Salma*, seorang penduduk daerah H2 di Hebron.

    Doctors Without Borders (MSF) mobile clinic set up in a small village of Umm Qussa. West Bank, Palestinian Territories, December 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Klinik keliling Doctors Without Borders beroperasi di sebuah desa kecil di Umm Qussa. Tepi Barat, Wilayah Palestina, Desember 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Pembatasan mobilitas mengancam layanan kesehatan

    Seiring dengan meningkatnya gangguan terhadap akses medis selama dua bulan terakhir akibat pembatasan mobilitas dan tindak kekerasan, tim kami semakin memperluas layanan untuk menyediakan perawatan kesehatan bagi orang-orang yang tidak dapat menjangkau fasilitas medis.

    Pada November 2023, klinik keliling Doctors Without Borders telah menambahkan enam lokasi klinik dalam aksi kami, untuk menjangkau 10 area yang mencakup bagian luar dan dalam kota tua Hebron, serta desa terpencil Masafer Yatta di Tepi Barat bagian selatan. Tim klinik keliling kami menyediakan konsultasi umum, layanan kesehatan reproduksi, dan layanan kesehatan mental. Pada bulan November dan Desember 2023, kami melayani 1.900 konsultasi di berbagai lokasi.

    "Mengakses fasilitas medis semakin berbahaya bagi masyarakat dengan bertambahnya pos pemeriksaan dan pemberlakuan jam malam," ujar Juan Pablo Nahuel Sanchez, dokter rujukan proyek Doctors Without Borders di Hebron.

    "Seiring dengan itu, memberikan pelayanan medis pun semakin sulit bagi organisasi medis, karena pembatasan mobilitas telah berdampak pada sulitnya para petugas kesehatan untuk menjangkau fasilitas kesehatan. Akibatnya, penyediaan layanan kesehatan menjadi terganggu," katanya.

    Di wilayah H2 di Hebron, hanya ada satu fasilitas medis yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan Palestina bagi pasien dengan kondisi akut dan kronis, namun sejak 7 Oktober, staf dari Kementerian Kesehatan tidak diizinkan untuk memasuki wilayah tersebut, sehingga masyarakat tidak mendapatkan layanan kesehatan. Bagi pasien dengan kondisi kronis khususnya, kurangnya tindak lanjut untuk memastikan kelangsungan perawatan menjadi masalah utama. Sekarang, tidak ada organisasi lain selain Doctors Without Borders yang dapat beroperasi di daerah tersebut.

    Tidak ada mobil, atau bahkan ambulans, yang diizinkan masuk ke wilayah H2. Bagaimana jika Anda sedang hamil dan akan melahirkan? Anda harus berjalan ke pos pemeriksaan di atas bukit dan berdoa agar para tentara membiarkan Anda lewat dengan mudah. Bukan karena menyangkut [masalah] medis, lantas Anda tiba-tiba memperoleh akses.
    Nadia*, warga H2, Hebron

    Di luar kota Hebron, di gurun pegunungan terpencil Masafer Yatta, masyarakat mengalami tekanan luar biasa dari pihak berwenang dan pemukim Israel agar meninggalkan daerah tersebut, penggusuran, penghancuran rumah, dan pembatasan mobilitas juga semakin meningkat sejak eskalasi baru-baru ini, dan menghambat akses masyarakat terhadap layanan kesehatan.

    "Kami menjumpai pasien dengan kondisi yang sudah berminggu-minggu atau berbulan-bulan tanpa berobat ke dokter. Kondisi yang paling umum adalah infeksi saluran pernapasan dan penyakit kronis. Pengobatannya mahal, tanpa asuransi kesehatan, mereka tidak mampu membayar," kata Juan Pablo Nahuel Sanchez.

    Bersamaan dengan itu, layanan kesehatan mental termasuk pertolongan pertama psikologis, konseling dan psikoterapi terus ditawarkan kepada mereka yang terdampak situasi ini. Psikolog kami melihat adanya penurunan signifikan kesehatan mental masyarakat.

    Doctors Without Borders (MSF) doctor examines a patient in one of the mobile clinics set up by Doctors Without Borders. West Bank, Palestinian Territories, December 2023. © Laora Vigourt/MSF

    Dokter Doctors Without Borders memeriksa seorang pasien di salah satu klinik keliling yang didirikan oleh Doctors Without Borders. Tepi Barat, Wilayah Palestina, Desember 2023. © Laora Vigourt/MSF

    "Hal yang mengejutkan adalah kami tidak hanya mengobati gangguan stres pascatrauma, tetapi juga menangani trauma berkelanjutan. Mereka mengalami pengalaman traumatis setiap hari, sehingga sulit untuk menemukan bantuan," kata seorang psikolog Doctors Without Borders.

    Menurun kesehatan mental masyarakat tidak hanya berdampak pada mereka yang sudah mampu memahami konteks dan dampak kekerasan yang disebabkan oleh konflik ini. Sejumlah bayi dan balita pun menunjukkan gejala-gejala kecemasan, seperti mengompol, mimpi buruk, dan sikap menyendiri.

    "Sungguh memilukan bagi saya karena harus membesarkan anak-anak di lingkungan seperti ini," kata Aliyah. "Anda tahu apa yang putri saya katakan kepada saya beberapa hari yang lalu? 'Ibu, saya sangat takut' - dan dia baru berusia dua tahun".



    Doctors Without Borders telah hadir di Tepi Barat sejak tahun 1988, dan saat ini beroperasi di Hebron, Nablus, dan Jenin. Tim kami menjalankan program kesehatan mental dengan melakukan sosialisasi, menyediakan layanan medis dan perawatan kesehatan dasar melalui klinik keliling, serta kegiatan pengembangan kapasitas, menawarkan pelatihan kepada fasilitas kesehatan dan rumah sakit untuk perencanaan penanganan korban jiwa, tanggap darurat, dan triase pasien.

    Selain memperluas jangkauan aktivitas medis sejak 7 Oktober lalu, tim kami juga meningkatkan kegiatan sosialisasi kesehatan di masyarakat, serta mendistribusikan barang-barang bantuan, perlengkapan kebersihan, dan paket makanan kepada para pengungsi Gaza, serta warga Tepi Barat yang terkena dampak kekerasan dan pengusiran paksa.

    *Nama-nama narasumber yang diwawancarai telah diubah dan informasi lain yang dapat mengidentifikasi identitas mereka telah dihilangkan demi keamanan.