Myanmar: Harapan dan solidaritas di tengah krisis
Klinik MSF di Thaketa terlihat dari luar. © Lwyn Phyu Phyu Kyaw / MSF
Harumnya bunga melati yang digantung di kaca spion taksi yang saya tumpangi menawarkan satu-satunya rasa familiar di negara yang telah berubah secara dramatis dalam semalam. Pagi itu, 1 Februari, saya terbangun dengan terkejut, seperti jutaan orang lainnya di Myanmar, mendengar berita bahwa militer telah mengumumkan keadaan darurat dan merebut kekuasaan dari kepemimpinan sipil negara.
Saat kami berkendara melalui jalan-jalan Yangon yang sunyi dan sepi, kota itu seperti berada dalam keadaan pingsan. Apa yang sopir taksi tanyakan kepada saya hari itu saat menurunkan saya adalah tantangan yang harus dihadapi oleh saya dan banyak orang lain di hari-hari mendatang, yaitu, “akankah komunitas internasional membantu kami?”.
Di saat reaksi keras dan kekerasan terhadap pengunjuk rasa selama beberapa hari terakhir menghancurkan kehidupan, di saat tenaga kesehatan dan lainnya diserang, impian dan aspirasi menghilang, pertanyaan itu menjadi sangat mendesak.
Mengatasi keterkejutan di awal, ratusan ribu orang di seluruh Myanmar dengan cepat bergerak, menguatkan diri selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan perjuangan tanpa henti. Saya melihat banyak rekan Burma saya yang tetap tenang meski dibayangi kesedihan, mereka tetap teguh untuk berdiri bersama komunitas mereka.
Kekhawatiran awal saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dahsyatnya masalah yang dihadapi banyak orang di Myanmar. Banyak yang berduka atas hilangnya masa depan mereka dalam sekejap, saya pun mengkhawatirkan keselamatan staf kami, dan khawatir akan gangguan terhadap perawatan yang sedang berlangsung bagi banyak pasien kami.
Sebagai seorang yang mengusung kemanusiaan, saya telah dilatih selama bertahun-tahun untuk menavigasi peliknya lanskap politik yang berbahaya melalui cara pandang berbasis kebutuhan yang tidak memihak. Kami menyusun aksi kami berdasarkan kebutuhan tersebut, bernegosiasi dengan siapa pun yang memegang kunci untuk membuka akses ke orang-orang yang perlu kami bantu.
Saya berasumsi bahwa keasingan kami akan mencegah kami larut dalam gelombang emosi. Tapi terkadang gelembung buatan sendiri ini pecah.
Di Myanmar saat ini, orang meminta sesuatu yang jauh melampaui apa yang dapat kami berikan — kebebasan dan keadilan, keselamatan dan keamanan. Saya telah menerima pesan memohon dari kolega saya, beberapa mengatakan mereka tidak merasa aman, yang lain merasa tidak terlindungi, rentan.
Sebagian besar mengatakan, orang menginginkan lebih dari sekadar dukungan material: perasaan solidaritas, perasaan bahwa mereka tidak sendiri, jaminan bahwa impian mereka yang baru tumbuh tidak akan sirna. Mereka mengharapkan kami untuk memilih satu sisi; dengan tegas mengutuk pengambilalihan militer.
Sebagai seorang pekerja kemanusiaan yang berlandaskan kenetralan, saya sangat merasakan batasan dari aksi kami. Tetapi saya menundukkan kepala, menyampaikan kata-kata dukungan, dan kembali menyusun rencana untuk mendukung kebutuhan medis darurat.
Sementara itu, gerakan pembangkangan sipil mulai menguat. Apa yang saya pikir adalah tanggung jawab kami di tengah gangguan yang meluas dalam layanan publik — untuk memenuhi kebutuhan kesehatan — dianggap oleh beberapa orang sebagai penopang sistem publik, yang di mata mereka telah kehilangan legitimasi. Bagi mereka, terus menopang fasilitas negara bagaikan pengkhianatan terhadap komunitas yang sudah berjanji untuk melakukan aksi tidak kooperatif.
Terlepas dari kekhawatiran ini, kami tidak dapat meninggalkan pasien kami dan membahayakan akses mereka ke perawatan kesehatan. Jadi, kami menyesuaikan cara kerja kami agar lebih diterima oleh orang-orang, termasuk staf kami.
Kami terbiasa menyediakan layanan kesehatan yang menyelamatkan nyawa dalam situasi yang paling sulit. Namun, gambaran tentang memberikan perawatan klinis di tengah kekacauan ini bagi sebagian orang dianggap sebagai ketidakpedulian terhadap penderitaan mereka.
Ini bukan untuk berarti orang menghindari tawaran dukungan atau tidak membutuhkan perawatan medis. Masyarakat dengan cepat bergerak untuk merawat orang-orang yang terluka dan cedera selama bentrokan tersebut. Jaringan perawatan kesehatan yang dipimpin masyarakat dengan cepat terbentuk. Komitmen, solidaritas, dan kapasitas mereka memastikan bahwa mereka telah memenuhi kebutuhan medis yang mendesak, yang tidak dapat dilakukan oleh para pekerja kemanusiaan.
Saat saya memobilisasi organisasi saya untuk mendukung masyarakat dalam merawat orang-orang yang terluka dan cedera, saya tetap khawatir tentang dampak luas dari ketidakstabilan yang berkepanjangan di seluruh Myanmar.
Administrasi negara, terutama di tingkat provinsi, mulai menyetujui pengambilalihan militer, dan semakin menjadi tempat perjuangan bagi militer dan pihak sipil untuk mendapatkan kendali yang sah.
Kesehatan masyarakat sudah sangat terdampak. Layanan kesehatan telah terganggu dan konsekuensi bagi pasien yang menjalani pengobatan jangka panjang termasuk orang yang hidup dengan HIV bisa sangat memprihatinkan, menggerus kemajuan yang telah dicapai Myanmar selama bertahun-tahun dalam mengurangi penularan HIV.
Bagi organisasi seperti organisasi saya yang telah mendukung otoritas kesehatan Myanmar dalam memperluas pengobatan HIV, Hepatitis C dan TBC, di antara penyakit lainnya, kebuntuan saat ini menyebabkan ketidakpastian selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Kami tidak lagi memiliki mitra untuk diajak bekerja sama dalam menangani kebutuhan kesehatan yang seharusnya kami tangani dalam kemitraan dengan otoritas kesehatan. Dan kami tetap prihatin tentang bagaimana hal ini akan memengaruhi kemampuan kami untuk mengakses penduduk yang rentan.
Setelah bertahun-tahun memberikan pengobatan HIV secara langsung kepada ribuan pasien, kami mulai memindahkan pasien ke Program AIDS Nasional Myanmar — sebuah indikator penting dari peningkatan kapasitas dalam negeri Myanmar dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif. Pemindahan ini sekarang ditunda. Sementara itu, kami terus membantu dan mendaftarkan pasien baru dalam pengobatan selama Program AIDS Nasional tetap tidak beroperasi. Tetapi jika kebuntuan saat ini berlanjut, kami tidak yakin berapa lama kami dapat mempertahankan upaya ini dengan tidak adanya mitra, obat-obatan dan staf di fasilitas kesehatan masyarakat.
Konsekuensi ekonomi COVID-19 telah berdampak pada kemampuan Myanmar untuk memperluas layanan kesehatan. Sekarang ketika ekonomi negara menukik setelah pengambilalihan militer, tingkat kemiskinan melonjak, secara eksponensial meningkatkan kebutuhan akan bantuan internasional untuk menjaga penduduk agar tetap bertahan. Tetapi di saat donor asing menahan aliran dana baru, dampak pada kehidupan dan kesehatan berisiko akan dirasakan selama bertahun-tahun yang akan datang.
Meskipun jawaban saya atas pertanyaan yang diajukan sopir taksi itu sangat tidak mencukupi, paling tidak yang dapat kita lakukan adalah tetap berada di samping kolega dan pasien kita pada waktu yang penuh ujian ini, untuk menjaga kesehatan mereka yang paling rentan.
Op-ed ini diterbitkan di The Jakarta Post pada 23 Maret 2021.
Francesca Quinto adalah Kepala Misi Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières Switzerland di Myanmar.