Skip to main content

    Merespons korban yang terluka di Yerusalem: “Para pasien terus berdatangan seperti ombak”

    An MSF doctor assesses a patient in a trauma point in the Palestinian Red Crescent Society (PRCS) hospital in Jerusalem.

    Seorang dokter Doctors Without Borders memeriksa seorang pasien di titik trauma di rumah sakit Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) di Yerusalem. Palestina, 15 April 2022. © MSF

    Saat itu pukul 6:30 pagi. Saya mendengar suara rekan-rekan saya Andrea dan Otero berbicara di luar kamar saya. Jelas sekali bahwa sesuatu yang mendesak telah terjadi. Andrea mengatakan kepada saya bahwa Perhimpunan Bulan Sabit Merah Palestina (PCRS) telah menelepon. Kami harus segera pergi.

    Andrea adalah seorang dokter kedaruratan dari Italia, Otero seorang dokter dan ahli anestesi  dari Spanyol di Unit Perawatan Intensif (ICU), dan saya adalah seorang ahli bedah trauma. Bersama-sama kami adalah bagian dari tim trauma MSF yang berbasis di Hebron, di Wilayah Pendudukan Palestina. Jumat itu, bersama dengan dua dokter umum MSF lainnya, kami berangkat untuk membantu tim PRCS dalam memantau dan menstabilkan para korban yang cedera.

    Di lingkungan Wadi al-Joz, PRCS telah mendirikan Titik Stabilisasi Trauma, tempat untuk melakukan triase pada pasien. Beberapa orang akan dirawat oleh PRCS di kompleks Al-Aqsha, sementara yang lain yang cedera lebih parah akan dibawa dengan ambulans ke pusat trauma kami atau langsung ke rumah sakit.

    Dalam hitungan menit, ambulans pertama tiba. Pasien tersebut mengalami luka besar dan berdarah di kepala karena polisi Israel telah memukulnya. Kemudian dua ambulans lagi tiba. Salah satu pasien adalah seorang gadis muda, tertembak peluru karet di punggungnya – trauma benda tumpul yang dapat mematahkan tulang rusuk atau tulang lainnya. Kami memeriksa paru-parunya dengan ultrasonografi dan untungnya, baik-baik saja. Kami pindah ke pasien lain dengan luka di punggung bagian bawah. Dia dipukul dengan tongkat dan sangat kesakitan.

    Dia tidak dapat menggerakkan kakinya. Kami mencurigai adanya patah tulang belakang. Setelah menstabilkannya, kami memutuskan untuk memindahkannya ke rumah sakit terdekat untuk rontgen. Kami bertanya-tanya seberapa parah dia dipukuli.

    Tiba-tiba, gadis dengan cedera peluru karet jatuh ke lantai setelah kehilangan kesadaran. Tanda-tanda vitalnya normal, namun dia gemetar hebat, seperti sehelai daun. Dia mengalami serangan kecemasan. Otero memberinya obat penenang. Saya memikirkan betapa mengerikan pengalamannya dan berapa lama kenangan kekerasan hari itu akan tinggal bersamanya.

    Kami melihat pasien lain yang wajahnya terbakar oleh granat kejut. Senjata ini dirancang untuk menghasilkan kilatan cahaya yang membutakan tetapi bila ditembakkan terlalu dekat dapat menyebabkan luka bakar yang mengerikan. Ada dua anak lagi yang datang. Salah satunya dengan luka besar di kepala. Dia dipukul. Andrea merawatnya, sementara Otero dan saya memeriksa anak lainnya dengan luka sangat dekat di mata kanannya. Dia tidak ingat bagaimana dia terluka. Kami menduga tulang pipinya patah dan memindahkannya ke rumah sakit rujukan.

    Sekitar pukul 10 pagi kami menerima kabar terbaru dari PRCS: jumlah korban luka mencapai 150 orang. Sedikitnya lima orang dalam kondisi kritis dan telah dibawa ke ruang operasi untuk memperbaiki kerusakan parah di wajah mereka setelah ditembak peluru karet. Peluru ini, seringkali memiliki inti logam, dapat melumpuhkan, merusak, dan bahkan membunuh.

    Tidak peduli berapa banyak pasien yang trauma yang Anda lihat atau sudah berapa kali Anda bekerja di zona perang, setiap kali Anda merawat seseorang yang telah dilukai secara kejam oleh manusia lain, tidak mungkin untuk tidak merasakan sakit yang mendalam di jiwa.

    Para pasien terus berdatangan seperti ombak. Kami mencoba menstabilkan mereka secepat mungkin agar dapat segera mengosongkan tempat tidur bagi pasien baru. Terkadang nampak seperti ambulans berhenti datang, lalu tiba-tiba dua atau tiga akan datang sekaligus. Pengalaman luar biasa dari paramedis, perawat, dan pengemudi PRCS dalam menanggapi keadaan darurat seperti itulah yang memungkinkan intervensi berjalan baik seperti ini.

    Pada pukul 11:30, sirkulasi pasien akhirnya berkurang. Semua orang yang terluka telah dirawat dan sudah waktunya istirahat. Andrea, Otero dan saya memutuskan untuk minum kopi di dekat rumah sakit lapangan di Bukit Zaitun. Dalam perjalanan, sebuah pemandangan yang luar biasa muncul di depan mata kami: pemandangan Yerusalem yang indah. Kami berdiri di sana dan bertanya-tanya bagaimana tempat yang begitu indah dapat menghadirkan adegan kekerasan yang kami saksikan sendiri beberapa jam yang lalu. Tidak peduli berapa banyak pasien yang trauma yang Anda lihat atau sudah berapa kali Anda bekerja di  zona perang, setiap kali Anda merawat seseorang yang telah dilukai secara kejam oleh manusia lain, tidak mungkin untuk tidak merasakan sakit yang mendalam di jiwa. Pepatah Romawi dari Plautus, dua ribu tahun lalu, benar adanya: "Homo homini lupus" - manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.

    Carlo Brugiotti
    Surgeon

    Carlo Brugiotti is a trauma surgeon with Doctors Without Borders in the Occupied Palestinian Territories.

    Categories