Skip to main content

    Malaysia: Pengungsi Rohingya ada di sini, mereka hidup di bawah bayang-bayang

    Anuar Begum Abdul Malik, 42, is looking out of the door of her home at Georgetown, Penang.

    Anuar Begum Abdul Malik, 42, melihat keluar dari pintu rumahnya di Georgetown, Penang. Anuar dan keluarganya berasal dari sebuah desa di negara bagian Rakhine, Myanmar. Mereka melarikan diri ke Malaysia pada 2015 dan awalnya menetap di negara bagian Kelantan, Malaysia. © Kit Chan

    Orang-orang Rohingya telah melarikan diri ke Malaysia selama 30 tahun terakhir dengan harapan dan impian akan kehidupan baru yang lebih aman. Namun, kebanyakan dari mereka yang melakukan perjalanan tersebut berakhir dengan hidup terpinggirkan dan tanpa status hukum yang jelas. Karena tidak dapat bekerja secara legal, mereka sering terjebak dalam pasar gelap pekerja ekonomi perkotaan Malaysia, di mana mereka rentan terhadap eksploitasi, jeratan utang, dan pekerjaan berbahaya. Berjalan di jalanan atau bahkan mencari perawatan medis dapat mengakibatkan para pengungsi ditangkap atau dikirim ke pusat-pusat penahanan.  

    Sejauh ini, Malaysia tidak memiliki mekanisme legislatif atau regulasi formal untuk melindungi pencari suaka dan pengungsi. Karena itu, para pengungsi di Malaysia tidak memiliki status hukum, akibatnya mereka rentan mengalami risiko penindasan dan pelecehan. Banyak orang Rohingya di Malaysia menjadi sasaran pelecehan, pemerasan, dan pemenjaraan. 

    Seperti apa kehidupan Rohingya yang melarikan diri ke Malaysia? Seperti apa kehidupan sehari-hari berada dalam krisis kemanusiaan selama puluhan tahun?  

    Ingat Rohingya. Ingat penderitaan mereka. 

    A Rohingya family in the dilapidated building where they live, in Puchong district near Kuala Lumpur.

    Sebuah keluarga Rohingya menetap dan  tinggal di gedung rusak, di distrik Puchong dekat Kuala Lumpur. 26 April 2019, © Arnaud Finistre

    Rashida, 22 years old, was born in Rakhine state, Myanmar.

    Rashida, 22 tahun, lahir di negara bagian Rakhine, Myanmar. Dia melarikan diri sendirian pada tahun 2012 ketika berusia 15 tahun dan mencari perlindungan di Bangladesh. Dari sana, ia melakukan perjalanan ke Thailand, lama perjalanan delapan hari menumpang kapal laut dengan sekitar 500 penumpang di dalamnya. Selanjutnya dia berjalan kaki menuju perbatasan Malaysia dengan bantuan penyelundup, kemudian menghabiskan tiga setengah bulan di pusat penahanan Penang. Sejak tiba, dia menikah dengan seorang Rohingya kelahiran Malaysia yang bekerja untuk sebuah perusahaan kebersihan, Penang. 17 April 2019, © Arnaud Finistre

    While their male relatives are at work...

    Sementara kerabat laki-laki mereka bekerja, perempuan Rohingya dan anak-anak mereka berkumpul untuk menghabiskan waktu. Penang, 17 April 2019, © Arnaud Finistre

    Nur, 27 years old (right), shares this container with seven other Rohingya workers.

    Nur, 27 tahun (kanan), berbagi tempat dalam peti kemas ini dengan tujuh pekerja Rohingya lainnya yang bekerja di sebuah lokasi pembangunan konstruksi besar. Muhammad (kiri) berbagi tempat dengan Nur. Mereka termasuk di antara banyak pekerja yang membangun kondominium dengan beberapa ratus unit kelas atas di distrik Bayan Lepas, Penang, Malaysia. Banyak orang Rohingya bekerja di sektor informal pada lokasi konstruksi semacam itu, melakukan pekerjaan yang paling kasar, tidak diinginkan, atau berbahaya. Seperti banyak pekerja lainnya, mereka juga tinggal di lokasi, berbagi akomodasi yang sangat sederhana. 22 April 2019, © Arnaud Finistre

    Sadek, 26 years old, arrived from Myanmar in 2012.

    Sadek, 26 tahun, datang dari Myanmar pada 2012 dan sudah hampir tiga tahun berjualan buah di pasar Klang. Bosnya adalah Rohingya, seperti dia. Dia bekerja dari jam 3 pagi sampai tengah hari, selama enam hari seminggu. Klang, Kuala Lumpur. 27 April 2019, © Arnaud Finistre

    Mohamed T., 56 years old, stands in front of the small shelter.

    Mohamed T., 56 tahun, berdiri di depan tempat penampungan kecil yang dia huni bersama putrinya, suaminya, dan anak-anak mereka. Dia bekerja lebih dari 12 jam sehari, tujuh hari seminggu di pertanian berskala kecil di dekat Banding. Dia melarikan diri dari Myanmar pada 2012 setelah keluarganya dipersekusi. Tayab sebelumnya tidak pernah bekerja di pertanian tetapi dia mengatakan tidak punya pilihan: “Ini masih lebih baik daripada tidak sama sekali,” katanya. Hal yang paling mengganggunya adalah pertengkaran dengan para pekerja India, yang sering kasar terhadap pekerja Rohingya. Beberapa pekerja Rohingya dicuri gajinya setelah diancam. Banding, Kuala Lumpur. 27 April 2019, © Arnaud Finistre

    Mohamed T., 56 years old, stands in front of the small shelter.

    Potret seorang pekerja pertanian Rohingya di tengah sebuah lahan pertanian kecil di Banding, Kuala Lumpur. Salah satu peluang kerja informal yang tersedia bagi Rohingya di Malaysia adalah bekerja di pertanian berskala kecil. Di Banding, sebuah kota yang berjarak 30 menit dari Kuala Lumpur, lebih dari 150 orang Rohingya bekerja tujuh hari seminggu sebagai buruh tani. Majikan Malaysia menempatkan mereka di rumah penampungan sederhana tanpa air mengalir, para pekerja dianggap sebagai tenaga kerja yang murah, patuh dengan hak yang terlanggar. Mereka sering bekerja 12 jam sehari. Jika mereka jatuh sakit atau terluka, mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan atau gaji. Rohingya seringkali tidak diterima dengan baik oleh komunitas lain, sehingga sering terjadi ketegangan dengan kelompok migran lainnya. 27 April 2019, © Arnaud Finistre

    The home of a Rohingya family in Butterworth, Penang.

    Rumah keluarga Rohingya di Butterworth, Penang. Sebagian besar Rohingya tinggal di rumah kayu atau flat bobrok dan sering dijauhi oleh penduduk setempat. Banyak dari mereka tinggal bersama dengan lebih dari satu keluarga dalam rumah seluas 600 kaki persegi. 13 Mei 2022, © Kit Chan

    Juhar Suhinamia, 25, mixes the dough to make fried sweet balls.

    Juhar Suhinamia, 25, mengaduk adonan untuk membuat bola-bola manis goreng di sebuah warung pinggir jalan di Bagan Dalam, Penang. Juhar memperoleh keterampilan kulinernya ketika ia mulai bekerja di sebuah restoran di Myanmar pada usia delapan tahun. Dia melarikan diri ke Malaysia pada usia 17 tahun dan berhasil menemukan pekerjaan di mana dia bisa menggunakan keahliannya dalam memasak. Dari waktu ke waktu, komunitas Rohingya mengunjungi kios-kios Malaysia, tetapi lebih sering pergi ke kios-kios Rohingya untuk merasakan suasana rumah. 13 Mei 2022, © Kit Chan

    Girls at the Sabina Talim Academy, a school for Rohingya children in Penang, Malaysia.

    Perempuan di Akademi Sabina Talim, sebuah sekolah untuk anak-anak Rohingya di Penang, Malaysia. Mengingat bahwa Rohingya dan kelompok pengungsi lainnya di Malaysia tidak memiliki status hukum dan oleh karena itu dianggap sebagai imigran 'ilegal', maka mereka tidak diperbolehkan masuk ke sekolah formal. Di sini, anak-anak Rohingya berusia antara 4-16 tahun dapat mengenyam pendidikan dasar, terutama Bahasa Inggris dan Matematika. Biaya sekolah selama satu bulan adalah 50 Ringgit Malaysia (Euro 10). Penang. 18 April 2019, © Arnaud Finistre

    The entrance to the Masjid Jamek (Jamek Mosque) in Puchong, near Kuala Lumpur,.

    Pintu masuk ke Masjid Jamek (Masjid Jamek) di Puchong, dekat Kuala Lumpur, di mana sekitar 80 anak Rohingya masuk madrasah. Karena pengungsi dan pencari suaka tidak memiliki status hukum di Malaysia, anak-anak tidak dapat mengakses pendidikan formal, sehingga madrasah seringkali menjadi satu-satunya kesempatan mereka untuk mendapatkan pendidikan. 26 April 2019, © Arnaud Finistre

    Newly arrived Rohingya children colouring while waiting.

    Anak-anak Rohingya yang baru datang mewarnai sambil menunggu giliran untuk menemui dokter Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontires (MSF) di sebuah klinik keliling di Penang. Mereka melakukan perjalanan dari Bangladesh dan transit melalui Myanmar dan Thailand sebelum mencapai Malaysia. Mereka bepergian dengan ibu mereka untuk bertemu kembali dengan ayah mereka di Malaysia. 8 Mei 2022, © Kit Chan

    A Rohingya patient has a consultation at Doctors Without Borders’ mobile clinic.

    Seorang pasien Rohingya melakukan konsultasi di klinik keliling Doctors Without Borders, didampingi oleh seorang penerjemah. Bukit Gudung, Penang. 21 April 2019, © Arnaud Finistre

    A husband, wife and their four children walking into the Doctors Without Borders’ mobile clinic.

    Seorang suami, istri dan keempat anaknya berjalan menuju klinik keliling Doctors Without Borders di Penang, Malaysia. Sang suami telah berada di Malaysia selama sembilan tahun. Istri dan anak-anaknya tiba dari Bangladesh hanya beberapa hari yang lalu untuk berkumpul kembali dengan keluarganya. 8 Mei 2022, © Kit Chan

    Some patients are queuing.

    Beberapa pasien mengantre untuk mendaftarkan kedatangan mereka di klinik Doctors Without Borders di Butterworth, Penang, sementara yang lain menunggu giliran untuk menemui perawat triase. 9 Mei 2022, © Kit Chan

    Doctors Without Borders’ triage nurse, Izyan, examines a patient.

    Perawat triase Doctors Without Borders, Izyan, memeriksa seorang pasien dari komunitas Rohingya sebelum berkonsultasi dengan dokter di klinik Doctors Without Borders di Butterworth, Penang. 9 Mei 2022, © Kit Chan

    A patient from the Rohingya community in Malaysia explaining her symptoms to the doctor.

    Seorang pasien dari komunitas Rohingya di Malaysia menjelaskan gejala yang ia rasakan kepada dokter dengan bantuan relawan Doctors Without Borders, Dilbar, di klinik Doctors Without Borders di Butterworth, Penang. 9 Mei 2022, © Kit Chan

    Doctors Without Borders volunteer Hamid Karim providing a mental health awareness session.

    Relawan Doctors Without Borders Hamid Karim memberikan sesi penjelasan tentang kesadaran kesehatan mental kepada pasien yang menunggu di area triase di klinik Doctors Without Borders di Butterworth, Penang. 10 Mei 2022, © Kit Chan