Skip to main content

    Setahun setelah ledakan di Beirut, situasi di Lebanon semakin memburuk

    refugee camp

    Kamp pengungsi Arsal © Tariq Keblaoui/MSF

    Fawziyya Al-Sahili berdiri di dapurnya di Lebanon timur laut sambil mengaduk semur sayuran. “Tetangga saya membawakan saya makanan ini kemarin, kalau tidak, kami tidak akan punya sayuran segar,” katanya. “Kami sudah tidak makan daging selama setahun. Dengan gaji anak saya, kami hanya mampu membeli roti, kacang-kacangan, dan lentil. Begitulah keadaannya sekarang.”

    Wanita berusia 64 tahun itu menderita tekanan darah tinggi dan diabetes, dan perlu mengonsumsi makanan sehat dengan banyak buah dan sayuran. Namun, makanan ini sering kali tidak terjangkau olehnya dan keluarganya. Salah satu putranya bekerja di sebuah toko dengan penghasilan 10.000 pound Lebanon setiap hari – kurang dari US$1 dengan nilai tukar informal saat ini. Putranya yang lain menganggur. Ketiganya tinggal bersama di sebuah rumah yang belum selesai dibangun dan tidak mampu mereka selesaikan.

    Selama dua tahun terakhir ia mengunjungi klinik Doctors Without Borders di dekat rumahnya di kota Hermel, Lebanon utara, untuk pemeriksaan rutin dan mengambil obat-obatan serta insulin yang ia perlukan untuk pengobatannya.

    Fawziyya Al-Sahili

    Fawziyya Al-Sahili

    Fawziyya Al-Sahili di dapurnya sedang mengaduk sup sayur.© Tariq Keblaoui/MSF

    Fawziyya Al-Sahili, 64, suffers from high blood pressure, diabetes (and osteoporosis). She regularly visits the MSF clinic in Hermel where she is examined and given the right medication.

    Fawziyya telah melihat banyak krisis di Lebanon. Meskipun situasi saat ini sangat sulit, ia berharap suatu hari keadaan akan membaik lagi. Bersatu padu dan bersabar adalah mottonya. Ia bersyukur atas bantuan yang diterimanya melalui klinik Doctors Without Borders. © Tariq Keblaoui/MSF

    Fawziyya Al-Sahili

    Fawziyya Al-Sahili bersama pekerja sosial.© Tariq Keblaoui/MSF

    Fawziyya Al-Sahili, 64, suffers from high blood pressure, diabetes (and osteoporosis). She regularly visits the MSF clinic in Hermel.

    Fawziyya Al-Sahili sedang diperiksa di klinik Doctors Without Borders di Hermal setelah terjatuh. © Tariq Keblaoui/MSF

    Setelah ledakan

    Fawziyya dan keluarganya adalah bagian dari separuh penduduk Lebanon yang kini hidup dalam kemiskinan ekstrem. Sejak 2019, negara kecil di pesisir timur Mediterania ini dilanda krisis ekonomi, inflasi yang meningkat, ketidakstabilan politik, dan pandemi COVID-19. Di atas semua itu, terjadi ledakan yang mengguncang ibu kota, Beirut, pada 4 Agustus 2020.

    Ledakan besar di kawasan pelabuhan itu menimbulkan dampak yang menghancurkan: hampir 200 orang tewas, lebih dari 6.000 orang terluka, dan puluhan ribu orang kehilangan rumah. Ledakan itu juga menghancurkan sejumlah fasilitas umum, termasuk rumah sakit, dan merusak gudang pusat otoritas kesehatan, sehingga mengganggu akses terhadap obat-obatan, terutama bagi orang lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis.

    Setelah ledakan itu, tim Doctors Without Borders menyumbangkan peralatan pertolongan pertama kepada pertahanan sipil Lebanon dan perlengkapan medis serta masker kepada Palang Merah Lebanon. Tim Doctors Without Borders di tiga lokasi – Karantina, Mar Mkhayel, dan Khandak – merawat lebih dari 1.800 pasien dengan luka akibat ledakan dan 4.500 pasien dengan penyakit kronis yang membutuhkan dukungan medis.

    Tim Doctors Without Borders juga mendatangi rumah ke rumah di daerah yang terkena dampak untuk menilai kebutuhan masyarakat. Mereka memasang tangki air dan mendistribusikan peralatan pemurnian air dan kebersihan; mereka juga meningkatkan dukungan psikososial.

    Dalam beberapa minggu setelah ledakan, beberapa rumah sakit umum hampir penuh karena tingginya jumlah pasien COVID-19. Orang-orang yang terluka dalam ledakan tersebut bergegas ke rumah sakit tanpa mengambil tindakan pencegahan, karena virus corona adalah hal yang paling tidak mereka khawatirkan.

    Dengan jumlah pasien COVID-19 yang meroket, Lebanon dikunci selama beberapa minggu. Bahkan sebelum pandemi, sistem kesehatan masyarakat menghadapi kemacetan obat-obatan dan pasokan medis secara berkala sebagai akibat dari krisis ekonomi. Pasca-pandemi, situasinya menjadi semakin buruk.

    Kekurangan obat-obatan

    Setahun setelah ledakan Beirut, kebutuhan masyarakat akan bantuan medis dan psikologis masih sangat besar. Pada saat yang sama, kunjungan ke dokter telah menjadi kemewahan bagi banyak orang karena mahalnya biaya perawatan kesehatan swasta. “Sistem kesehatan di Lebanon sangat diprivatisasi sehingga semakin banyak orang tidak mampu membeli obat atau menemui dokter,” kata Hammoud al-Shall, asisten koordinator proyek Doctors Without Borders. “Orang harus memutuskan apakah akan menghabiskan uang mereka untuk makanan atau obat-obatan. Harga keduanya naik hingga lima kali lipat dari harga sebelumnya."

    Fawziyya membutuhkan obat pereda nyeri tetapi merasa kesulitan untuk mendapatkan obat-obatan yang paling mendasar sekalipun, seperti parasetamol. “Saya jatuh dan kemudian sakit kepala,” katanya. “Saya ingin membeli parasetamol, tetapi apoteker tidak memilikinya. Kami mencoba tiga apotek lain, tetapi tidak ada di mana pun. Obat itu tidak lagi tersedia di Lebanon.”

    Kekurangan obat-obatan seperti itu menjadi tantangan, bahkan bagi organisasi seperti Doctors Without Borders. Sulit bagi perusahaan lokal untuk mengimpor obat-obatan ke negara tersebut, jadi tim Doctors Without Borders kini mengimpor sendiri obat-obatan yang paling penting. Krisis bahan bakar yang meningkat telah meningkatkan biaya transportasi, yang memengaruhi persediaan obat-obatan dan pasien yang berusaha mencapai perawatan medis.

    Masa depan yang tidak pasti

    Banyak orang di Lebanon – baik warga Lebanon maupun pengungsi – sudah berjuang melawan stres dan trauma psikologis yang terkait dengan perang atau pengungsian. Kini, kondisi kehidupan yang memburuk terbukti menjadi beban tambahan dan memengaruhi kesehatan mental mereka. Banyak pasien yang mencari bantuan psikologis dari Doctors Without Borders menderita depresi, kecemasan, atau keputusasaan.

    Fawziyya Al-Sahili mengkhawatirkan masa depan keluarganya. Ia terutama mengkhawatirkan putranya yang tidak memiliki pekerjaan. Putranya juga mendatangi klinik Doctors Without Borders di Hermel, tempat ia menerima dukungan psikososial.

    Setelah makanan siap, Fawziyya duduk di karpet dengan sepiring nasi, roti putih, dan semur sayur di depannya. Kecemasannya tentang masa depan selalu ada, tetapi ia belum kehilangan harapan. Ada solidaritas di antara warga Lebanon dan ia merasa didukung oleh komunitasnya – bukan hanya tetangga yang membawakannya makanan, tetapi juga pekerja sosial dan dokter di klinik Doctors Without Borders tempat keluarganya mendapatkan perawatan medis, psikososial, dan obat-obatan gratis yang mereka butuhkan.

    Categories