Skip to main content

    Mosul, Irak : Jalan panjang menuju pemulihan di kota dengan dua musim semi

    Mosul’s old town experienced intense shelling, aerial bombing and attacks during the conflict to retake the city from the Islamic State group.

    Kota tua Mosul mengalami penembakan yang intens, serangan udara dan pengeboman selama konflik untuk merebut kembali kota dari kelompok ISIS. Sebagian besar kota tua masih tidak dapat diakses. Antara 5.000 hingga 7.000 orang telah kembali ke rumah mereka di kota tua Mosul, meskipun masih ada bahaya ledakan sisa sisa perang. Irak, April 2018. © Sacha Myers/MSF

    “Ibu dari dua musim semir, itulah julukan kota kami,” kata Imad Abdullah, seorang pasien di rumah sakit  Al-Wahda yang dikelola Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF)  untuk operasi ortopedi di Mosul Timur, terletak di sisi kiri Sungai Tigris. "Tidak ada tempat lain di dunia ini di mana Anda dapat mengalami musim yang indah  terjadi dua kali."

    Pada tahun 2016, Mosul, kota terbesar kedua di Irak, mengalami salah satu pertempuran kota paling mematikan sejak Perang Dunia Kedua. “Ketika saya berpikir tentang apa yang telah terjadi pada Mosul selama perang, seolah-olah anak saya berada di ruang gawat darurat, dan saya, dan semua penduduk lainnya, sedang menunggu di luar, khawatir, dan berharap dia akan selamat,” kata Imad. 

    Lima tahun setelah pertempuran secara resmi berakhir dan pasukan Irak merebut kembali kota itu dari kelompok Negara Islam, orang-orang telah kembali ke Mosul dan kehidupan di kota itu mulai berjalan kembalii, meskipun banyak tantangan yang dihadapi masyarakat dan kehancuran yang masih terlihat. 

    Dari kota yang hancur karena perang menjadi kota yang hidup 

    “Mosul telah mengalami perubahan radikal selama lima tahun terakhir,” kata Sahir Dawood, promotor kesehatan Doctors Without Borders di Mosul. “Pada saat saya pertama kali kembali ke kota, tepat setelah akhir pertempuran, rasanya seperti kota hantu. Saya melihat ke kanan dan kiri,  dan satu-satunya hal yang terlihat adalah puing-puing, bangunan hancur, dan jalan-jalan kosong, dengan beberapa orang kelelahan di sana-sini. Tapi sekarang, ketika saya berkeliling kota, saya melihat orang-orang bekerja dan pergi keluar. Saya melihat gedung-gedung berdiri, lampu jalan menyala di malam hari.” 

    Hari ini, di Mosul, jembatan yang dulu hancur karena perang telah dibuka kembali dan Mosul Barat dan Timur kembali terhubung. Selama lima tahun terakhir, orang-orang yang tinggal di Mosul telah melihat perubahan di jalan-jalan,  penghalang dan pos-pos pemeriksaan secara bertahap  disingkirkan —sebuah tanda pulihnya keamanan. Saat ini, orang tua tidak lagi takut untuk membiarkan anak-anak mereka bermain di luar dan pergi  ke sekolah. 

    “Hidup telah berubah dari gelap menjadi terang bagi kami,” kata Saad Hamdoon, paman Hamdoon Jassim, seorang pasien di rumah sakit lapangan Doctors Without Borders Nablus di Mosul Barat. Remaja itu menunggu di ruang gawat darurat dengan gips di kaki kirinya, bersiap untuk dipulangkan. 

    An aerial view of the partially functioning fifth bridge, once known as the city’s biggest bridge, near the remnants of the historic Qera Serai Castle (The Black Palace).

    Pemandangan dari atas sebuah jembatan kelima yang berfungsi sebagian, dulunya dikenal sebagai jembatan terbesar di kota, di dekat sisa-sisa Kastil Qera Serai yang bersejarah (Istana Hitam). Irak, Mei 2022. © Mohammed Al-Bayati

    “Mosul adalah rumah” 

    Berbagai inisiatif bermunculan di Mosul setiap hari: orang-orang secara sukarela membersihkan puing-puing di kota tua, memperbaiki rumah, dan membersihkan jalan. Influencer dan aktivis media sosial dari kota melakukan kampanye penggalangan dana untuk membantu keluarga membangun kembali rumah mereka atau memulai usaha. Beberapa hari yang lalu, sebuah gambar dibagikan di halaman media sosial salah satu permukiman, menunjukkan seorang anak yang setiap malam menyirami pohon yang baru ditanam di jalan. Pohon-pohon itu sendiri ditanam oleh sekelompok relawan. Ini hanyalah salah satu contoh dari ribuan inisiatif yang digalang oleh orang-orang di Mosul. 

    “Upaya ini perlu diapresiasi dan dipuji karena mereka  bekerja tanpa lelah tidak mencari keuntungan pribadi,” kata Hanan Arif, anggota staf Doctors Without Borders di rumah sakit Al-Wahda. “Karena Mosul adalah rumah, satu-satunya harapan mereka adalah membangun kembali kota dan membantu kehidupan penduduknya untuk pulih kembali.” 

    Orang-orang tidak hanya membangun kembali kota, tetapi juga kehidupan mereka. Ahmed Abdullah telah bekerja dengan Doctors Without Borders sejak 2017. Dia memulai di rumah sakit trauma lapangan Hamman Al-Alil Doctors Without Borders untuk merawat pasien luka perang yang dirujuk ke fasilitas tersebut dari kota. 

    Ahmed Abdullah, MSF water and sanitation technician in the MSF-run Al-Wahda hospital, East Mosul. He has been working with MSF since 2017, first in the Hamman Al-Alil field trauma hospital which received war wounded patients fleeing the city as the battles were still ongoing.
    Saya telah melihat mereka, orang asing yang bekerja untuk organisasi kemanusiaan, berlari di depan kami, lebih cepat dari kami, bergegas menyelamatkan yang terluka. Kami, masyarakat Mosul, berusaha melakukan yang terbaik, tetapi kami masih sangat terkejut, atas apa yang telah kami alami. Langkah demi langkah, dibantu dengan dorongan dari tim internasional, dan relasi kuat yang telah terbangun bersama, kami bisa mengatasi keterkejutan tersebut. Kami mulai bergegas juga, untuk menyelamatkan yang terluka dari kota kami. Saat itu adalah pertama kalinya kami terlibat menyelamatkan nyawa. Kami merasakan pencapaian yang luar biasa. Sebelumnya, satu-satunya kenyataan yang kami jalani adalah kebrutalan, pembunuhan, dan pengungsian massal. Kami tidak begitu akrab dengan semangat kemanusiaan. Sekarang sebagian besar dari diri saya telah berubah berkat bekerja untuk kemanusiaan. Karena saya telah melihat kemanusiaan yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
    Ahmed Abdullah, Staf Air & Sanitasi

    Kebutuhan yang lebih besar dari  upaya pemulihan 

    Meski masyarakat Mosul merasakan perubahan, realitas keseharian mereka bukannya tanpa tantangan. Banyak keluarga kehilangan segalanya dalam perang dan masih berjuang mencari nafkah dan menemukan akomodasi yang sesuai kebutuhan mereka. Beberapa keluarga kehilangan orang yang jadi tulang punggung keluarga mereka, sehingga memulai kembali dari nol bisa memakan waktu bertahun-tahun. Karena tingkat kehancuran kota, jumlah rumah yang tersedia untuk menampung keluarga-keluarga  turun drastis. 

    Ketika penduduk perlahan-lahan kembali, beberapa keluarga miskin harus tinggal di rumah yang rusak sementara banyak lainnya harus menyewa akomodasi lain, meskipun menghadapi kesulitan keuangan. Tanpa kesempatan kerja, terutama bagi kaum muda, sulit bagi banyak keluarga untuk menetap. Situasi ekonomi dan sosial yang pulih perlahan  menjadi beban tambahan bagi masyarakat. 

    Mosul pernah memiliki sistem perawatan kesehatan terbesar kedua di Irak, tetapi situasinya saat ini masih jauh dari layak dibandingkan masa sebelum perang. Karena fasilitas medis rusak berat selama perang, orang berjuang untuk mengakses layanan kesehatan berkualitas tinggi yang terjangkau. Penghancuran juga tidak menyisakan fasilitas kesehatan di luar Mosul, oleh karena itu orang sering harus melakukan perjalanan jauh untuk mencapai beberapa fasilitas yang masih berfungsi di kota.

    Sulav Al-Hamza, MSF maternity supervisor at the MSF-run Nablus hospital in West Mosul.
    Pasien datang dari jauh untuk melahirkan di rumah sakit kami. Mereka seharusnya bisa mengakses layanan tersebut di rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang dekat dengan mereka, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Sampai saat ini, banyak orang kehilangan nyawa di jalan padahal mereka hanya membutuhkan prosedur atau perawatan sederhana, seperti transfusi darah atau hal-hal yang seharusnya tidak sulit untuk disediakan.
    Sulav Al-Hamza, Supervisor Bersalin

    “Saya ibu dari tiga anak, jadi saya sering harus mengunjungi fasilitas kesehatan,” kata Jihan Ahmed*, pengasuh dan bibi Samad, bayi  baru lahir yang dirawat di rumah sakit Nablus dan proses kelahirannya melalui operasi arava pada malam sebelumnya. “Kami berjuang untuk mendapatkan perawatan yang berkualitas dan terjangkau, itulah sebabnya kami arava jauh-jauh dari Mosul Timur ke rumah sakit di Mosul Barat ini.” 

    Sekarang, rumah sakit utama telah dibuka kembali dengan struktur bangunan dan aravan sementara, yang hanya merupakan solusi jangka pendek. Beberapa fasilitas saat ini jauh dari lokasi sebelumnya, yang jauh dari sentral, sehingga menyulitkan orang untuk mencapainya dalam waktu cepat. 

    Juga masih terjadi kekurangan pasokan dan obat-obatan. Misalnya, tindakan operasi per hari saat ini  jauh lebih banyak dibandingkan sebelum perang, karena sumber daya harus dijatah dan karena tempat tidur dan kapasitas bedah yang sama tidak ada lagi. 

    Selama pertempuran dan setelahnya, tim Doctors Without Borders merawat korban perang di unit gawat darurat dan ruang operasi rumah sakit Nablus. Kegiatan ini berkembang mengikuti perubahan kebutuhan medis. 

    An MSF nurse is taking care of a newborn

    Seorang perawat Doctors Without Borders sedang merawat bayi yang baru lahir di bangsal bersalin di rumah sakit Nablus yang dikelola oleh Doctors Without Borders di Mosul Barat. Irak, Juni 2022. © MSF/Florence Dozol 

    Saat ini jelas kebutuhannya masih besar. Tiga fasilitas Doctors Without Borders di kota terus menerima sejumlah besar pasien yang datang untuk mencari perawatan bersalin, pediatrik, darurat atau bedah.
    Esther van der Woerdt, Kepala Misi

    Dalam enam bulan pertama tahun 2022, sebanyak 3.853 anak lahir di dua rumah sakit bersalin Doctors Without Borders dan 489 operasi dilakukan di fasilitas Al-Wahda. 

    Menanggung konsekuensi akibat perang 

    Faris Jassim terluka selama pertempuran. Dia telah menderita beberapa komplikasi, menjalani 25 operasi, dan masih belum pulih sepenuhnya. “Saya melalui saat-saat yang sangat kacau setelah cedera,” katanya. “Selama dua tahun saya  berpikir untuk bunuh diri karena semua operasi dan perawatan yang sepertinya tidak ada habisnya bagi saya. Tetapi ketika saya mulai melihat kaki saya pulih, saya merasakan harapan lagi. Ini adalah lompatan besar untuk beralih dari menggunakan kursi roda menjadi bisa berjalan secara mandiri sekarang.” Faris akan keluar dari Rumah Sakit Al-Wahda yang dikelola Doctors Without Borders di Mosul Timur dan hal pertama yang ingin dia lakukan adalah kembali bekerja di tokonya. 

    Pada tahun 2017, sebagian besar pasien di fasilitas Doctors Without Borders di dalam dan sekitar Mosul menghadapi masalah psikologis setelah apa yang mereka alami. Meski kebutuhan kesehatan mental sudah berkurang, trauma yang dialami orang tidak bisa dilupakan. 

    “Selama masa perang, kami terkurung di dalam kota,” Kata Rahma, Penerjemah Doctors Without Borders dari Mosul. “Kami tidak punya pilihan selain menyaksikan kekerasan dan perang. Apa yang kami alami mempengaruhi kesehatan mental kami. Hingga saat ini, saya masih bisa mendengar suara ledakan dan desingan roket -  meski hanya didalam pikiran saya” 

    Dalam masa perang, masyarakat selalu hidup dalam ketakutan akan kehilangan rumah mereka, anggota keluarga mereka atau nyawa mereka bisa hilang kapan saja. Sebagai seorang ibu, Hanan harus menguatkan anak-anaknya bahwa mereka akan baik-baik saja dan menunjukkan kekuatan untuk seluruh keluarganya. Akibat kekerasan yang berlangsung, mereka akhirnya harus mengungsi dari rumahnya di Mosul Barat. “Kami meninggalkan lingkungan asal kami dengan berjalan kaki, menyeberang ke Mosul Timur. Di tengah jembatan saya berhenti dan melihat kembali ke Mosul Barat. Adegan asap dan kehancuran menghancurkan hati saya. Sungguh menyakitkan melihat Mosul, ibu tercinta kami seperti itu, sekarat di depan mata kami.” 

    MSF surgical team conducts an external fixation placement surgery for a patient

    Tim bedah Doctors Without Borders melakukan operasi penempatan fiksasi eksternal pada pasien untuk menstabilkan patah tulang kakinya di ruang operasi Rumah Sakit Al-Wahda milik Doctors Without Borders, Mosul Timur. Irak, Juni 2022. © MSF/Florence Dozol

    Saat ini, Doctors Without Borders menawarkan sebuah tempat aman bagi para pasien untuk berbagi cerita mereka dan membicarakan trauma yang mereka alami. Melalui berbagai sesi penanganan kesehatan mental untuk perorangan dan grup, orang dapat membuka diri dan perlahan-lahan membangun mekanisme bertahan (coping mechanism) dengan bantuan profesional kesehatan mental. Datang untuk meminta bantuan kesehatan mental bisa jadi sulit karena—seperti di banyak tempat di seluruh dunia—subjek itu tetap tabu di banyak keluarga. 

    Penduduk Mosul telah mengalami berbagai macam kesulitan, tetapi mereka tidak kehilangan keberanian, kesabaran dan kekuatan. “Segalanya membaik selangkah demi selangkah,” kata Dawood. “Karena apa yang dialami Mosul tidak sederhana. Saya rasa kota lain belum pernah mengalaminya. Tidak ada solusi ajaib untuk memperbaiki semuanya dengan cepat.” 

    “Sangat memuaskan melihat perkembangan positif di kota ini,” kata van der Woerdt. “Dan kami berharap membangun kembali kota dan sistem perawatan kesehatan akan semakin cepat seiring berjalannya waktu. Karena Mosul masih memiliki jalan panjang untuk berdiri kembali dan bagi rakyatnya untuk merasakan pemulihan penuh. Dan ini hanya dapat dicapai dengan dukungan. Mosul akan membutuhkan dukungan untuk tahun-tahun mendatang.” 

    *Bukan nama sebenarnya

    Categories