Misinformasi & stigma jadi beban tambahan pasien COVID-19 di Papua Nugini
Pelatihan penggunaan APD yang aman diadakan di Port Moresby untuk anggota staf yang baru dipekerjakan. Fundzile Msibi, perawat, mendemonstrasikan penggunaan dan perlindungan APD yang aman. © Leanne JORARI
Ketidaksetaraan Vaksin
Sementara negara ini menghindari akibat terburuk dari pandemi global 2020, sekarang negara ini dilanda wabah virus corona baru yang parah. Pemerintah telah memberlakukan langkah-langkah untuk meratakan kurva sebelum memburuk, namun hal itu terbukti sulit mengingat sistem kesehatan yang sudah rapuh. Dengan banyaknya tenaga kesehatan di negara ini yang tengah dikarantina setelah dinyatakan positif, masalah lain pandemi terungkap: ketidaksetaraan vaksin.
“Situasi di Papua Nugini adalah contoh ketidakadilan global dalam hal akses ke vaksin dan peralatan medis lainnya. Ketika angka kasus mulai melambung, petugas kesehatan di sini masih belum divaksinasi, sementara negara lain menimbun lebih banyak vaksin daripada yang mereka butuhkan,” kata Farah Hossain, Manajer Medis Doctors Without Borders.
Kasus COVID-19 di Papua Nugini telah meroket sejak awal tahun. Saat ini, total kumulatif kasus terkonfirmasi di negara tersebut adalah 8.984, dengan 846 pulih, dan 69 kematian yang diketahui di sembilan provinsi; dengan sebagian besar kematian terjadi di ibu kota, Port Moresby.
Pakar medis telah mengeluhkan tekanan luar biasa yang diakibatkan lonjakan kasus terhadap sistem kesehatan negara itu. Tenaga medis yang bekerja terlalu berlebihan, banyak yang dinyatakan positif dan harus karantina, dan kurangnya pasokan medis telah melumpuhkan rumah sakit dan klinik umum di seluruh negeri.
Respons Doctors Without Borders
Sejak Oktober 2020, Doctors Without Borders telah membantu dengan satu teknisi laboratorium dan cartridge untuk menganalisa sampel tes PCR untuk infeksi COVID-19, namun lonjakan kasus menuntut pasokan medis dan tenaga kerja ekstra.
Awal bulan ini, tim Doctors Without Borders di Papua Nugini mulai mendukung fasilitas pengobatan COVID-19 yang diimprovisasi di Port Moresby, yang dikelola oleh Otoritas Kesehatan Provinsi Kabupaten Ibu Kota Nasional (NCDPHA), yang berkapasitas 43 tempat tidur untuk pasien yang sakit sedang hingga parah.
Tim Doctors Without Borders telah mempekerjakan dan melatih praktisi medis Papua Nugini pada awal April, secara khusus berfokus pada situasi darurat dan bagaimana menangani pasien-pasien itu dengan cepat. Mereka menjalani pelatihan tentang berbagai topik mulai dari cara memakai alat pelindung diri (APD) dengan benar, terapi oksigen, hingga mengobati pneumonia akut.
Pelatihan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang aman di Port Moresby
Menurut Koordinator Proyek, Shah Khalid, hal ini tidak hanya akan membantu mereka di sini dan sekarang dalam kasus COVID-19, tetapi juga di masa depan, “Melatih petugas kami adalah hal yang penting demi memastikan keselamatan mereka dan pasien kami. Prosedur ini berlaku di semua penyediaan perawatan kesehatan, sementara kita berada dalam pandemi dan juga di lain waktu.”
Topik penting lainnya, namun sering terlewatkan, yang akan dipelajari oleh para praktisi medis adalah edukasi dan konseling untuk pasien. Hal ini untuk memastikan kesehatan mental dan emosional pasien tidak terabaikan.
Kesehatan emosional adalah topik yang selama ini terabaikan di negara ini. Pasien yang dites positif diisolasi dan distigmatisasi karena kurangnya pengetahuan umum tentang COVID-19. Stigma seputar virus masih marak dengan banyak yang menolak untuk melakukan tes corona, bahkan ketika mereka menunjukkan gejala.
Manajer edukasi dan konseling pasien dari proyek ini, Fundzile Msibi, membahas pentingnya sesi-sesi ini; “Sangat penting untuk dipahami bahwa orang yang didiagnosis dengan COVID-19 akan diliputi berbagai emosi. Mereka khawatir akan diagnosis mereka, mungkin cemas atau tidak yakin tentang pemulihan karena mereka akan melihat jumlah orang yang sekarat karena virus ini di seluruh dunia. Mereka juga harus tetap terisolasi, jauh dari keluarga dan teman. Semua tantangan ini akan memengaruhi mereka secara psikologis juga. Jadi dukungan ini untuk membantu mereka mengatasi situasi itu dengan selalu ada untuk pasien sehingga mereka dapat mengekspresikan emosi dan mendukung mereka saat melalui periode ini. ”
"Kami ingin mencegah masalah atau gangguan emosional seperti depresi."
Para petugas berencana untuk mengadakan sesi konseling rutin dengan pasien dalam semua tahapan masa tinggal mereka di rumah sakit dan juga mulai mencari tahu bagaimana masalah ini dapat ditangani di masyarakat.
Doctors Without Borders telah bekerja di PNG selama bertahun-tahun dengan menjalankan program tuberkulosis dan melanjutkan diagnosis serta pengobatan di Port Moresby (NCD) dan Kerema (Provinsi Teluk).