Marawi: Warga pengungsi yang hidup dengan COVID-19 dan ketidakpastian berkelanjutan
Tim Doctors Without Borders mendistribusikan obat penyakit tidak menular, perlengkapan kebersihan, dan selebaran yang berisi tindakan pencegahan terhadap COVID-19 pada pasien kami yang mengungsi. Di penampungan sementara Sagonsongan, tim kami bekerja sama untuk menemukan lokasi rumah pasien dengan bantuan pemimpin kamp. © Chika Suefuji/MSF
Ketika jumlah pasien terkonfirmasi COVID-19 mulai meningkat pada Maret 2020, Filipina dengan cepat mengambil tindakan ketat karantina warga. Hingga Juli 2020, belum ada penularan lokal di kota selatan Marawi, yang menunjukkan bagaimana tindakan ini tampaknya berhasil mengatasi COVID-19. Namun, hal itu juga mempengaruhi mata pencaharian penduduk kota, terutama para pengungsi yang tinggal di Marawi dan sekitarnya.
Marawi adalah satu-satunya kota di Filipina dengan mayoritas Muslim di negara yang mayoritas beragama Katolik. “Sejak awal masa darurat kesehatan masyarakat, warga di Marawi mematuhi tindakan pencegahan dengan sangat ketat, harapannya karantina warga akan dicabut saat menjelang Ramadan,” kata Chika Suefuji, koordinator proyek Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) di Marawi.
Ajibah Sumaleg, 34 tahun, tinggal di Distrik Papandayan. Dia sedang hamil anak ke-8 dan kesulitan mengontrol tekanan darahnya. Dia datang ke Kantor Kesehatan Kota untuk pemeriksaan mingguan di Kota Marawi. © Veejay Villafranca
“Namun, karantina warga terus berlanjut, dan masyarakat tidak dapat pergi ke masjid, yang merupakan salah satu ibadah terpenting selama Ramadan. Dapat dimengerti bahwa beberapa orang kesal mengetahui bahwa mereka harus merayakan Ramadhan tahun ini secara berbeda; beberapa mempertanyakan keputusan ini, karena hanya sedikit kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di daerah tersebut. Kami membahas ini dengan pemimpin masyarakat dan pemuka agama, menjelaskan bagaimana virus menyebar. Mereka memahami dengan baik dan mengeluarkan pernyataan meminta warga untuk mengikuti langkah-langkah keamanan. Pendekatan ini membantu penyebaran informasi yang akurat dan meyakinkan lebih banyak penduduk untuk mengikuti langkah-langkah tersebut. Secara keseluruhan, masyarakat menghormati tatanan sosial untuk melindungi keluarga dan warga mereka, dan ini membantu mencegah virus di masyarakat.”
Sementara pandemi COVID-19 sejauh ini belum parah melanda daerah itu, namun ini telah menambah beban ekstra bagi warga di Marawi. Selama karantina warga, konsultasi medis di fasilitas kesehatan ditangguhkan. Kurangnya akses ke air bersih membuat rekomendasi berikutnya untuk menahan penyebaran virus sangat menantang.
Pasien yang menderita penyakit tidak menular, seperti hipertensi atau diabetes, sangat rentan terhadap virus. Tim Doctors Without Borders melakukan kunjungan rumah untuk memastikan pasien terus menerima pengobatan dan memberikan brosur kepada mereka tentang virus tersebut serta bagaimana cara melindungi diri dan keluarga mereka dari virus ini.
Kepala desa/barangay (perempuan bertopi) dan staf Doctors Without Borders sedang beristirahat saat kami melakukan informasi keliling. Kendaraan keliling kami menyampaikan pesan promosi kesehatan di sekitar Kota Marawi. Terpalnya bertuliskan "di rumah saja" dalam bahasa Marawi, Maranao. © Gilbert G. Berdon
Kota Marawi dikepung pada Mei 2017 oleh kelompok terkait ISIS yang mencoba mengambil kendali dan konflik meletus antara tentara dan kelompok tersebut. Pengepungan tersebut berlangsung selama lima bulan dan memaksa sekitar 370.000 orang mengungsi dari rumah mereka. Lebih dari tiga tahun kemudian, beberapa bagian kota masih berupa reruntuhan. Sekitar 70.000 orang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan di tempat penampungan sementara dan 50.000 lainnya diperkirakan tinggal di rumah anggota keluarga lain. Mereka semua memiliki ingatan yang jelas tentang pengepungan tersebut. Ajibah Sumaleg, tiga puluh empat tahun, ingat bagaimana keluarganya harus meninggalkan rumah hanya dengan pemberitahuan beberapa hari dan kembali dengan mendapati rumah mereka hancur lima bulan kemudian.
Sekitar 200.000 orang tinggal di Marawi, yang terletak di Daerah Otonomi Bangsamoro Muslim Mindanao (BARMM), di selatan Filipina. Wilayah ini sedang dalam transisi untuk memperluas otonominya dari Filipina. Negara itu telah lama berjuang dengan indikator kesehatan dan ekonomi terlemah di Filipina, dan sejak akhir pengepungan pada Oktober 2017, telah terjadi wabah campak, demam berdarah, dan polio. Sebelum 2017, situasi politik di wilayah tersebut tidak stabil, dengan konflik rutin antara berbagai kelompok bersenjata. Namun, masyarakat di sana berharap bahwa perubahan politik akan membawa stabilitas dan kemakmuran jangka panjang di wilayah tersebut.
Awalnya, pengungsi disediakan tenda, hingga pusat evakuasi serta dibangunkan tempat penampungan sementara. Keluarga terakhir baru pindah pada Januari 2020 dari tenda ke tempat penampungan.
Sobaida Comadug, 60, mengenang bagaimana suaminya meninggal karena serangan jantung ketika kota itu dikepung. Menurutnya, tempat penampungan tidak jauh lebih baik dari tenda. “Kami diberitahu bahwa ini akan dibangun untuk bertahan selama lima tahun. Menurut Anda, apakah pemerintah akan membangun penampungan yang tahan lama? Tidak!" Dia telah menghabiskan seluruh hidupnya di Marawi. Dia menjelaskan tantangan sehari-hari yang dihadapi para pengungsi.
Air kurang, dan tempat penampungan sementara jauh dari pasar. Makanan mahal. Semua faktor ini mendorong warga untuk makan makanan siap santap, sementara dokter merekomendasikan makanan sehat untuk melengkapi pengobatan penyakit tidak menular. “Lebih sulit memasak makanan sehat. Kami jauh dari pedagang buah dan sayur, dan kalaupun bisa menjangkau mereka, kami tidak punya air bersih untuk mencucinya," kata Sobaida.
Keterbatasan akses ke air bersih menimbulkan kesukaran. Chika Suefuji, koordinator proyek Doctors Without Borders, mengatakan, “Kondisi kehidupan masyarakat memprihatinkan. Truk air menyelamatkan nyawa, tapi ini hanya langkah sementara dan bukan solusi jangka panjang. Saya berharap penderitaan para pengungsi di Marawi dan Lanao del Sur diketahui sehingga bisa membawa masa depan yang lebih baik bagi warganya.”
Selama masa karantina warga pada bulan April dan Mei, banyak keluarga menghadapi keputusan sulit karena kebanyakan tak dapat bekerja. Warga harus memutuskan apakah akan menggunakan uang mereka untuk makan keluarga, atau perawatan kesehatan anggota keluarga yang sakit.
Puing-puing dan bangunan yang dipenuhi peluru berdiri sebagai sisa-sisa pengepungan tahun 2017 yang dipimpin oleh kelompok-kelompok lokal yang berafiliasi dengan ISIS di kota Islam Marawi, Lanao Del Sur. © Veejay Villafranca
Bahkan sebelum karantina warga, perawatan kesehatan sulit diperoleh setelah pengepungan. Hanya 15 dari 39 fasilitas kesehatan di Marawi dan sekitarnya yang berfungsi; yang lainnya hancur atau tidak dapat dibuka kembali. Doctors Without Borders merehabilitasi empat pusat kesehatan setelah pengepungan untuk membantu masyarakat di Marawi, dan mulai menyediakan air minum bersih serta layanan kesehatan mental.
Penyakit tidak menular bertanggung jawab atas 41,5 persen kematian di wilayah BARMM pada 2015. Hipertensi dan diabetes termasuk di antara 10 penyakit yang paling umum.
Doctors Without Borders saat ini membantu tiga pusat kesehatan di wilayah tersebut, memberikan perawatan mental, mengobati penyakit tidak menular, seperti hipertensi dan diabetes, serta memberikan pengobatan gratis. Seperti yang dijelaskan Janoa Manganar, ketua tim kesehatan Doctors Without Borders:
Sangat penting bagi masyarakat Marawi, terutama pasien yang menderita penyakit tidak menular, agar penyebaran COVID-19 tetap terkendali. Di Filipina, kegiatan pengawasan dan pelacakan kontak untuk COVID-19 juga dilakukan di tingkat warga. Doctors Without Borders telah mulai melatih tim di 72 distrik di kota Marawi tentang cara melakukan pengawasan dan pelacakan kontak, serta cara berbagi informasi terkait pencegahan COVID-19, karantina mandiri, dan kesehatan mental bersama dengan otoritas kesehatan setempat.
Warga yang tinggal di Marawi menghadapi masa depan tak pasti. Rehabilitasi kawasan di pusat Marawi yang hancur selama pengepungan terus menjadi tantangan karena masih adanya sisa-sisa perang, seperti persenjataan yang belum meledak, dan beberapa alasan lainnya. Banyak yang masih berharap bahwa perubahan politik akan membawa perubahan positif bagi masa depan mereka; namun, kenyataannya adalah, hampir setelah tiga tahun sejak pengepungan berakhir, banyak orang masih terusir dari rumah mereka, tinggal di tempat penampungan sementara atau di rumah kerabat, tanpa tahu berapa lama ini akan berlangsung.
Pengepungan dan pandemi menambah kekhawatiran warga di Marawi, kata Sarah Oranggaga. Dia terpaksa tinggal bersama saudara-saudaranya lagi setelah mengorbankan toko kecilnya di Marawi. Dia berkata, "Saya baik-baik saja saat ini, kami hanya pasrah dan perlahan kami akan mengatasinya."