Skip to main content

    Guinea: Kemajuan dalam Perawatan HIV Namun Tantangan Besar Masih Ada

    a Guinean Health Ministry midwife performs an Early Infant Diagnosis (EID) test on a newly born infant (12 weeks old) who was born to an HIV positive mother. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Seorang bidan Kementerian Kesehatan Guinea melakukan tes Diagnosis Bayi Dini (EID) pada bayi baru lahir (usia 12 minggu) yang lahir dari ibu yang HIV positif. Doctors Without Borders mendukung kegiatan PMTCT di 7 pusat kesehatan di Conakry, termasuk tes HIV, pengobatan untuk ibu HIV positif, profilaksis dan Diagnosis Bayi Dini (PIE) untuk bayi yang lahir dari ibu HIV positif, dan inisiasi ART bagi anak HIV positif. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Pada tahun 2003, Guinea bukan merupakan pilihan lokasi utama untuk melaksanakan program HIV/AIDS. Berbeda dengan negara-negara di pusat pandemi, seperti di Afrika Selatan, di mana satu dari empat orang dewasa hidup dengan HIV, justru, hanya 1,7% warga Guinea dinyatakan positif HIV. Prevalensi yang rendah ini menandakan bahwa pengobatan dan perawatan HIV/AIDS tidak diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan kesehatan lainnya, sehingga akses pengobatannya pun sangat terbatas.

    Pada tahun 2003, Guinea bukan merupakan pilihan lokasi utama untuk melaksanakan program HIV/AIDS. Berbeda dengan negara-negara di pusat pandemi, seperti di Afrika Selatan, di mana satu dari empat orang dewasa hidup dengan HIV, justru, hanya 1,7% warga Guinea dinyatakan positif HIV. Prevalensi yang rendah ini menandakan bahwa pengobatan dan perawatan HIV/AIDS tidak diprioritaskan dibandingkan dengan kebutuhan kesehatan lainnya, sehingga akses pengobatannya pun sangat terbatas.

    Terlepas dari stigma negatif beberapa kerabatnya, Mouna mendapat dukungan dari keluarga, terutama dari kakaknya, yang membiayai pengobatan antiretroviral (ARV) dari luar negeri. "Katanya, dia akan membantu saya apa pun yang terjadi, bahkan jika dia harus menjual rumahnya," ungkapnya.

     
    A patient collects her six months of antiretroviral therapy (ART) and related drugs at MSF-supported pharmacy as part of her six-monthly R6M consultation at the MSF-supported HIV outpatient department at Matam health centre, Conakry. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Seorang pasien menebus obat antiretroviral (ART) dan obat-obatan lainnya selama enam bulan di apotek yang didukung oleh Doctors Without Borders dalam rangkaian konsultasi R6M setiap enam bulan di layanan rawat jalan HIV klinik Matam, Conakry. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Akibat keterbatasan biaya dan kesulitan mengakses ARV, beberapa pasien tidak konsisten menjalani pengobatan yang mengakibatkan resistensi terhadap obat lini pertama, sehingga semakin sulit untuk menemukan program pengobatan yang efektif. Aboubacar Camara, seorang penyuluh komunitas dari Doctors Without Borders, yang juga seorang pengidap HIV, mengatakan: "Suatu ketika, pengobatan saya tidak lagi efektif. Saya berhenti dan mulai lagi. Saya mengalami resistensi pengobatan. Sehingga, kami pun harus beradaptasi dengan hal tersebut."
     

    Pada tahun 2004, Doctors Without Borders menjadi organisasi pertama yang menyediakan ARV secara gratis untuk pasien HIV di Guinea, tiga tahun sebelum ARV tersedia secara gratis di seluruh negeri.

    Pada tahun 2004, Doctors Without Borders menjadi organisasi pertama yang menyediakan ARV secara gratis untuk pasien HIV di Guinea, tiga tahun sebelum ARV tersedia secara gratis di seluruh negeri.

    Sejak awal program, Doctors Without Borders fokus pada pencegahan penularan dari ibu ke anak (PMTCT). "Saya memiliki dua anak yang lahir dengan HIV negatif berkat program pencegahan penularan dari ibu ke anak," ungkap Kadiatou Bodié Baldé, ketua REGAP+, sebuah organisasi berbasis komunitas bagi orang dengan HIV. "Sekarang, mereka berusia 9 dan 13 tahun. Putri saya tahu kondisi saya dan dialah kepercayaan saya. Saya telah menerangkan semuanya agar dia tidak terkejut nantinya. Saya menyuruhnya tidak menyentuh darah saya ketika saya terluka. Dia memahami, bahkan dia mengingatkan saya untuk minum obat."

    "Program PMTCT dari Doctors Without Borders di Guinea membuahkan hasil yang luar biasa," menurut Hippolyte Mboma, koordinator proyek Doctors Without Borders. "Berkat program ini, tercatat kurang dari 5% bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV positif yang terinfeksi, dibandingkan dengan 20% di tingkat nasional."

    Model perawatan inovatif

    Beberapa tahun setelah program ini berjalan, Doctors Without Borders menyadari bahwa, meskipun telah menyediakan akses terhadap perawatan dan pengobatan gratis, masih banyak orang dengan HIV yang terabaikan. Mengingat hanya satu dari empat warga Guinea dengan HIV yang mengkonsumsi ARV pada tahun 2012, angka kematian akibat HIV masih tetap tinggi. Perawatan lanjutan bagi mereka yang mengalami komplikasi terkait AIDS hanya tersedia di beberapa fasilitas kesehatan, seperti departemen dermatologi di Rumah Sakit Donka dan Rumah Sakit Ignace-Deen, yang terletak di ibukota, Conakry. Oleh karena itu, Doctors Without Borders memutuskan untuk membuat unit perawatan khusus di Rumah Sakit Donka, bekerja sama dengan profesor Cissé, untuk merawat pasien HIV stadium lanjut, termasuk perawatan untuk orang yang terinfeksi TB dan perawatan paliatif.  

    Outside Doctors Without Borders (MSF)’s medical care unit for AIDS patients at the Unité de Soins, Formation et Recherche (USFR) in Donka Hospital, in partnership with the Guinea Ministry of Health. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Area luar unit perawatan medis untuk pasien AIDS milik Doctors Without Borders di Unité de Soins, Formation et Recherche (USFR) di Rumah Sakit Donka, yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Guinea. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF 

    Secara bersamaan, Doctors Without Borders melakukan uji coba penerapan pedoman pengobatan HIV terbaru dan menjadi salah satu organisasi pertama yang memperkenalkan pemeriksaan viral load di Guinea.

    Melalui pengobatan ARV, infeksi HIV dapat dikelola sehingga pengidapnya hidup lebih lama dan sehat. Namun kondisi ini hanya akan terwujud jika pasien menjalani pengobatan ARV secara konsisten. Mungkin hal ini lebih sulit daripada kedengarannya, apalagi jika Anda harus mengunjungi dokter setiap bulan di negara yang hanya memiliki sedikit tenaga kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, tim Doctors Without Borders di Guinea mengembangkan "program janji temu enam bulanan" (dikenal sebagai R6M) dimana pasien dengan kondisi klinis stabil memperoleh stok ARV untuk enam bulan, bukan hanya satu bulan, sehingga dapat memangkas waktu, biaya dan perjalanan yang diperlukan untuk mengakses pengobatan, dan mendorong pasien lebih mandiri dalam menangani kondisinya.

    Upaya ini terbukti berhasil: pada tahun 2022, 92% pasien yang terdaftar dalam program R6M dari Doctors Without Borders masih menjalani perawatan di bulan ke-12, dibandingkan dengan 61% pasien yang mengikuti program reguler. "Ketika program ini berhasil, pemerintah meluncurkan program kesehatan nasional," kata Dr Chaloub Souleymane dari Doctors Without Borders. "Kementerian Kesehatan telah menjadi pengusung R6M di tingkat internasional."

    Dengan semangat yang sama, Doctors Without Borders membawa kesuksesan bagi Guinea dengan menyederhanakan metode perawatan yang sebelumnya telah dikembangkan di tempat lain, sehingga menjadikan perawatan pasien lebih terpusat dan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Upaya ini mencakup titik distribusi pengobatan ARV (PODI), yang pertama kali diuji coba oleh Doctors Without Borders di Republik Demokratik Kongo pada tahun 2010 dan diperkenalkan di Guinea pada tahun 2020.

    Blood samples in the MSF-supported laboratory await the addition of reagent before being tested for viral load levels using the Bio Centric machine. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Sampel darah di laboratorium yang didukung oleh Doctors Without Borders menunggu tambahan reagen sebelum dilakukan pengujian tingkat viral load menggunakan mesin Bio Centric. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF 

    Dampak bagi masyarakat

    "Menyederhanakan perawatan bagi pasien sekaligus menghadirkan layanan medis spesialis untuk HIV stadium lanjut merupakan dua cara terbaik menekan angka kematian dan meningkatkan taraf hidup masyarakat," kata David Therond, kepala misi Doctors Without Borders. "Kami pun menyadari bahwa hal tersebut tidaklah cukup, karena tingkat pengetahuan, ketakutan, dan diskriminasi juga menjadi faktor yang sangat kuat sehingga menghambat masyarakat untuk melakukan tes dan memulai pengobatan. Sebaliknya, menyaksikan orang HIV-positif hidup sehat karena mereka mengkonsumsi ARV adalah satu-satunya cara paling efektif untuk mengubah mentalitas masyarakat, mengurangi stigma dan mendorong mereka untuk berobat."

    Sejak tahun 201 dan seterusnya, Doctors Without Borders menjalin kerja sama erat dengan berbagai organisasi berbasis komunitas, pendamping komunitas dan relawan pasien untuk mendiskusikan kondisi mereka dan, yang paling penting, meyakinkan mereka bahwa orang dengan HIV dapat hidup sehat dan panjang umur. "Bukalah HIV yang mematikan, melainkan stigma dan keterbatasan informasi," kata Mouna.

    Aboubacar didiagnosa mengidap HIV pada tahun 2008. "Setelah saya melakukan pemeriksaan, dokter menyematkan secarik kertas pada berkas saya yang bertuliskan: "Positif HIV". Mereka mengira saya bodoh. Saya melihat kertas itu kemudian terjatuh dari kursi. Sungguh di luar dugaan saya. Dokter meresepkan obat untuk tiga bulan. Setelah tiga bulan, kondisi saya mulai membaik. Setelah obat habis, saya tidak melanjutkannya. Saya tidak ingin orang-orang mengetahui diagnosis saya, namun kondisi saya semakin memburuk. Saya dikucilkan dan direndahkan. Saya pernah dua kali mencoba bunuh diri. Saya tidak tahu apa-apa tentang virus ini. Rasanya ini akhir kehidupan saya."

    Dukungan sesama adalah penopang hidup bagi Aboubacar. "Suatu hari, saya mendengarkan sebuah acara di radio di mana seorang aktivis, seorang pendamping sebaya di Doctors Without Borders, berbicara tentang HIV dan diagnosisnya. Dia mengalami hal yang sama seperti saya. Pada akhir segmen, mereka membagikan nomor telepon. Lalu saya menelepon dan besoknya, saya berjumpa dengannya. Dia bilang: "Jika kamu menerima penyakitmu, kamu bisa sepertiku. Aku hidup dengan HIV, tapi aku tidak akan menyerah. Aku merasa nyaman bergabung dengan grup tersebut. Aku bahkan lupa bahwa aku ini sakit."

    MSF’s patient experts (who are part of MSF’s psychosocial team) are themselves people living with HIV, who received treatment and care from MSF, and went on to become patient experts in their own right, to help others living with HIV.

    Pendamping pasien dari Doctors Without Borders (bagian dari tim psikososial) adalah pengidap HIV, yang telah menjalani perawatan dan pengobatan dari Doctors Without Borders, dan kemudian mendampingi pengidap HIV lainnya. Mereka juga merupakan anggota aktif dari perkumpulan pengidap HIV setempat, yang sangat aktif di lingkungan sekitarnya. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Sejak saat itu, sebagai anggota organisasi yang dipimpin oleh pasien dan sebagai pendamping sebaya dari Doctors Without Borders, Aboubacar senantiasa memberikan dukungan kepada sesama pasien. Ia menjadi salah satu orang pertama di negara itu yang berani berbicara blak-blakan tentang kondisinya. "Saya mencetuskan beberapa motto seperti "HIV mungkin mengalir dalam darah saya, namun perjuangan melawannya tertanam dalam jiwa saya". Sampai sekarang, saya masih membantu pengentasan HIV di Guinea. Tugas saya ialah berbagi pengalaman dengan sesama pengidap. Mendorong mereka untuk menerima kondisi mereka, sehingga mereka dapat menjalani hidup lebih positif seperti saya."

    Di Guinea, stigma terhadap orang dengan HIV secara umum telah berkurang, namun masih menjadi masalah di beberapa kelompok masyarakat, terutama untuk pekerja seks dan laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki. Kedua kelompok tersebut kesulitan untuk mengakses pemeriksaan dan perawatan yang aman.

    Yassine Diallo telah bekerja dengan Doctors Without Borders sejak awal proyek sebagai petugas pengelola dan pembantu administratif. Walaupun ia negatif HIV, ia terus menyampaikan informasi pencegahan HIV kepada keluarga, teman, dan tetangganya. "Kita memang tak bisa memilih penyakit, namun jika saya harus memilih antara HIV dan diabetes, saya akan memilih HIV," ujar Yassine. "Selama kita terus menjalani pengobatan, HIV bukanlah ancaman. HIV yang diobati tidaklah berbahaya, meski penyakit ini bertahan seumur hidup."

    Terdapat kesenjangan besar

    Dua puluh tahun kemudian, terlepas dari banyaknya perkembangan dan kemajuan dalam pengobatan HIV di Guinea, upaya pencegahan, pemeriksaan, pengobatan dan pendanaan tetap menjadi kendala.

    Hingga kini, tidak semua fasilitas kesehatan di Guinea menyediakan layanan kesehatan gratis bagi pasien HIV. Akibat hambatan finansial dan stigma, banyak pasien yang datang ke unit HIV Doctors Without Borders di rumah sakit Donka sudah dalam stadium lanjut. Kekosongan stok ARV kerap terjadi dan terkadang rantai pasokannya bermasalah. Selain itu, tenaga kesehatan tidak cukup terlatih dalam penanganan HIV dan penyakit penyertanya.

    The waiting area in the MSF-supported HIV outpatient department at Matam health centre, Conakry. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF

    Ruang tunggu di unit rawat jalan HIV Doctors Without Borders di klinik Matam, Conakry. Guinea, 2018. © Albert Masias/MSF 

    Sebagian besar penanggulangan HIV di Guinea ditanggung oleh Global Fund, namun kesenjangan tersebut tetap ada. Layanan PMTCT tidak tersedia di semua tempat; pemeriksaan viral load dan deteksi dini pada bayi tidak tersedia untuk semua pasien; dan skrining, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik tidak tersedia di layanan kesehatan utama.

    Anak-anak, khususnya, kesulitan untuk mengakses pemeriksaan dan pengobatan HIV. Saat ini, 11.000 anak berusia 0-14 tahun hidup dengan HIV, namun hanya 3.612 di antaranya yang mendapatkan pengobatan. "Terdapat kekurangan stok obat HIV pediatrik setiap bulannya, sehingga menyebabkan kelangkaan hingga tiga minggu. Di situlah Doctors Without Borders terlibat: kami menambal kekosongan tersebut," kata Dr Souleymane. "Orang dewasa maupun anak-anak yang tidak mendapatkan pengobatan selama berminggu-minggu berisiko mengalami resistensi terhadap ARV. Beberapa anak yang lahir dari ibu dengan HIV positif tidak memiliki akses ke profilaksis pediatrik saat lahir, diantaranya karena kurangnya ARV pediatrik, disisi lain ada juga anak dengan HIV yang tidak mendapatkan pengobatan ARV."

    Program UNAIDS 95-95-95 bertujuan untuk mendiagnosis 95% dari semua orang dengan HIV positif, menyediakan pengobatan ARV untuk 95% dari mereka yang terdiagnosis, dan mencapai supresi virus untuk 95% dari mereka yang menjalani pengobatan di tahun 2030. Jika pemerintah ingin mencapai hal tersebut, maka diperlukan adanya mobilisasi semua pihak yang terlibat - Kementerian Kesehatan, Global Fund, dan donor lainnya - serta peningkatan penanganan yang ada saat ini.

    Categories