Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) telah memberikan perawatan kesehatan bagi pengungsi, pencari suaka, dan masyarakat migran tanpa dokumen di Malaysia sejak 2015. Kehadiran operasional kami di negara ini dimulai sebagai bagian dari respon kami yang lebih luas terhadap krisis Rohingya. Warga Rohingya, yang melarikan diri dari tuntutan hukum di Myanmar, telah melakukan perjalanan berbahaya melintasi Laut Andaman dengan perahu kecil dan penuh sesak, selama 30 tahun terakhir.
Saat ini ada sekitar 179.520 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar di Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Malaysia, di mana lebih dari 100.000 adalah warga Rohingya. Sumber pemerintah Malaysia memperkirakan ada sekitar 200.000 pengungsi Rohingya di negara itu, termasuk mereka yang tanpa dokumen. Pengungsi di Malaysia tidak tinggal di kamp-kamp, tetapi banyak yang tinggal di lingkungan perkotaan dan mayarakat lokal.
Malaysia mengizinkan UNHCR untuk mendaftarkan pengungsi, tetapi negara tersebut belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 atau Protokol tambahannya. Ini berarti pengungsi dan pencari suaka tidak memiliki status hukum. Akibatnya, pengungsi dihadapkan pada banyak hambatan untuk mengakses perawatan kesehatan, sementara mereka tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam masyarakat dengan menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah biasa atau mencari pekerjaan yang sah.
Seorang pria Rohingya menjual sayuran di dekat Pasar Baru, Kuala Lumpur. © Arnaud Finistre
Mereka yang klaim suakanya diakui dan mendapatkan kartu UNHCR memperoleh potongan harga perawatan kesehatan, namun potongan tersebut didasarkan atas biaya orang asing. Ini berarti para pengungsi membayar harga yang jauh lebih tinggi daripada penduduk setempat - hampir 100 kali lebih mahal.
Seorang pekerja pertanian Rohingya terlihat bekerja di tengah sebuah pertanian kecil. Banding, Kuala Lumpur. © Arnaud Finistre
Mereka yang tidak memiliki dokumen atau status UNHCR berisiko ditangkap dan ditahan dalam penggerebekan, bahkan ketika mencari perawatan di fasilitas perawatan kesehatan umum, karena penyedia layanan kesehatan terikat oleh Surat Edaran Sehat Kementerian Kesehatan 10/2001, yang mewajibkan mereka untuk melaporkan migran tanpa dokumen kepada polisi dan layanan imigrasi.
Saya membutuhkan perawatan kesehatan untuk luka-luka saya, namun saya tidak bisa mendapatkannya karena kendala keuangan ... Kami hanya harus mati di rumah tanpa perawatan kesehatan.seorang Pasien Doctors Without Borders
Respons Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF)
Dihadapkan dengan kendala perawatan kesehatan, Doctors Without Borders/ Médecins Sans Frontières (MSF) menyiapkan sebuah program yang menyediakan perawatan kesehatan utama, layanan kesehatan mental, dukungan psiko-sosial, serta konseling bagi pengungsi dan pencari suaka di Penang.
Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) mendirikan klinik tetap di Butterworth pada tahun 2018. Klinik tersebut saat ini membantu sekitar 900 hingga 1.000 pasien setiap bulan. Melalui klinik keliling mingguan di seluruh negara bagian, bekerja sama dengan LSM lokal ACTS (A Call to Serve/Panggilan untuk Melayani), pengungsi di daerah terpencil Penang juga memiliki akses ke layanan kami. Kami berkolaborasi dengan klinik dan RS setempat untuk merujuk pasien dengan kebutuhan kesehatan khusus. Selain itu, kami juga memberikan bantuan kesehatan ke beberapa Pusat Penahanan Imigrasi (Immigration Detention Centres/IDCs) bekerja sama dengan LSM lokal.
Seorang dokter Doctors Without Borders mendengarkan pasien Rohingya saat dia berbicara melalui penerjemah di klinik keliling kami di Bukit Gudung, Penang.
Melalui kegiatan advokasi dan penghubung kami, Doctors Without Borders membantu pengungsi dan pencari suaka yang membutuhkan perlindungan. Kami merujuk pencari suaka ke UNHCR dan bekerja dengan mitra Malaysia untuk mengidentifikasi kesenjangan yang bertambah dalam layanan. Di antara permasalahan lainnya, tim kami telah meminta pencabutan Surat Edaran Sehat 10/2001 dan pendaratan yang aman bagi para pengungsi yang mengalami kesulitan di laut. Doctors Without Borders juga bekerja bersama mitra lokal dan lembaga negara terkait dalam perbaikan jangka panjang untuk akses pengungsi ke perawatan kesehatan.
Vithya, kepala farmasi di klinik Doctors Without Borders di Penang, menjelaskan cara mengambil resep kepada istri pasien. Penang
Pengungsi Rohingya di Malaysia
Karena kurangnya status dan hak mereka di Malaysia, pengungsi dan pencari suaka sering menunda mencari perawatan kesehatan bahkan dalam keadaan darurat. Dengan COVID-19 yang melumpuhkan negara, pengungsi Rohingya sangat terdampak.
Seorang tunawisma Rohingya duduk di lantai di pinggiran kota Kuala Lumpur. © Arnaud Finistre
Awalnya, pihak berwenang Malaysia memilih respons inklusif dan mempersilakan migran tanpa dokumen serta pencari suaka untuk mencari perawatan kesehatan tanpa takut ditangkap. Namun, setelah penggerebekan imigrasi, pemblokiran jalan, dan beberapa pendekatan terencana, yang dimulai pada Mei 2020, banyak yang terpaksa bersembunyi.
Doctors Without Borders mengamati konsekuensi sekunder dari pandemi. Meningkatnya stigma terhadap pengungsi dan migran, serta pembatasan pergerakan atau meningkatnya kemiskinan semakin menghalangi mereka untuk mengakses bantuan kesehatan. Ini berisiko mempengaruhi pasien yang bergantung pada akses rutin obat-obatan, misalnya diabetes atau HIV. Risiko lain adalah memburuknya kondisi kesehatan mereka karena pengobatan yang tertunda.
Kadang kami tidak mampu membeli sabun cuci tangan dan pembersih karena saya bisa melihat anak-anak [saya] menangis minta makanan setiap hari. Makanan lebih penting daripada perawatan kesehatan bagi kami saat ini.seorang pasien Doctors Without Borders
Kurangnya pendapatan yang stabil, dan pengucilan umum dari respon kesehatan masyarakat terhadap COVID-19, telah membuat penggunaan masker atau membeli sabun untuk cuci tangan menjadi kemewahan bagi banyak kelompok yang terpinggirkan. Selain itu, banyak pengungsi dan pencari suaka tinggal di ruang kecil, terkadang dengan beberapa keluarga, membuat jarak fisik hampir mustahil.
Nur, 27 tahun (kanan), berbagi kontainer ini dengan tujuh pekerja Rohingya lainnya yang dipekerjakan di lokasi konstruksi besar-besaran. Muhammad (kiri) berbagi kontainer dengan Nur. Penang © Arnaud Finistre
Respons COVID-19
Sejak pandemi, Doctors Without Borders telah memberikan bantuan COVID-19 kepada komunitas pengungsi di Penang. Menggunakan bahasa yang digunakan oleh komunitas pengungsi, termasuk Rohingya dan Burma, kami mengadakan sesi edukasi kesehatan setiap hari untuk menjelaskan langkah-langkah pencegahan yang diperlukan dan pedoman kesehatan masyarakat.
Pada Maret 2020, Malaysia memberlakukan perintah kontrol pergerakan (movement control order/MCO) atau lockdown, yang membuat kami menangguhkan beberapa kegiatan rutin kami. Ini termasuk klinik keliling kami yang mempengaruhi, khususnya, mereka yang tinggal di daerah yang lebih terpencil di Penang. Ketika Malaysia memberlakukan MCO kembali pada awal 2021, tim-tim kami siap untuk meningkatkan dukungan mata pencaharian dan kampanye informasi digital berdasarkan pengalaman tahun lalu. Sementara sebagian besar klinik keliling ditangguhkan lagi, Doctors Without Borders memperoleh izin untuk menjalankan paling tidak beberapa di antaranya.
Seorang pasien Rohingya menjalani konsultasi di klinik keliling MSF, didampingi oleh penerjemah. Bukit Gudung, Penang.
Doctors Without Borders telah mendukung RS umum dengan menyediakan layanan terjemahan melalui jaringan sukarelawan komunitas Rohingya. Berdasarkan masukan komunitas Rohingya, kami mengembangkan kampanye promosi kesehatan COVID-19 dengan R-vision, sebuah jaringan berita daring Rohingya dengan cakupan di seluruh dunia tahun lalu. Video yang diproduksi menjangkau Rohingya di Malaysia, Myanmar, Arab Saudi, India, kamp-kamp di Bangladesh dan di tempat lain.
Bersama LSM lokal di Penang, kami membagikan makanan kepada keluarga pengungsi yang rentan, dan barang-barang kebersihan diberikan kepada beberapa IDC di negara tersebut. Para tahanan di IDC berisiko tinggi tertular virus karena terbatasnya ruang yang tersedia di pusat-pusat penahanan yang seringkali penuh sesak, seperti yang disorot dalam jumlah kasus COVID-19 yang dilaporkan di tahanan dan penjara.
Advokasi kami berfokus pada respon COVID-19 yang lebih inklusif, menghilangkan rasa takut akan penangkapan dan pengusiran dalam komunitas migran. Kami telah meminta pemerintah untuk berhenti menyasar para migran, pengungsi dan pencari suaka dalam penggerebekan imigrasi. Penggerebekan ini hanya menimbulkan ketakutan dan kecemasan di antara komunitas-komunitas ini dan tidak berkontribusi pada pendekatan kesehatan masyarakat yang sangat dibutuhkan Malaysia.