Skip to main content

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) mulai beroperasi di Filipina pada tahun 1984. Sejak itu, tugas telah membawa kami ke Luzon, Visayas, dan Mindanao, menangani tuberkulosis, HIV/AIDS, tanggap bencana, dan COVID-19. 

     

    Linimasa: Doctors Without Borders di Filipina 

    • 1984: Proyek awal di Filipina memberikan bantuan kesehatan sebagai respon atas kebutuhan kesehatan yang ditimbulkan oleh keadaan darurat dan bencana alam. 
    • 1989 hingga 1995: Proyek pengendalian tuberkulosis diluncurkan di Kota Davao.
    • 1992: Sebuah proyek Metro Manila menawarkan bantuan kesehatan, psikososial dan sosial-hukum kepada anak-anak jalanan.
    • 1996 hingga 1999: Kami meluncurkan proyek pencegahan dan pengendalian IMS/HIV/AIDS di Kota Davao.
    • 1998: Kami memberikan bantuan lebih lanjut untuk proyek perawatan kesehatan bagi anak jalanan, air & sanitasi serta proyek koperasi farmasi.
    • Juli 2000: Kami mulai memberikan bantuan kepada penduduk yang mengungsi akibat konflik antara pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF). 
    • 2012: Bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, klinik keliling menyediakan layanan di daerah yang dilanda topan di Cagayan de Oro dan Iligan City. 
    • 2013: MSF memberikan bantuan setelah bencana Topan Haiyan.
    • 2015: Sebuah kesepakatan ditandatangani dengan Departemen Kesehatan untuk menyediakan layanan kesehatan reproduksi bagi penghuni kawasan kumuh di Manila.
    In Tondo, Manila, MSF worked with local NGO Likhaan. This photo was taken in 2019, before the pandemic. ©Melanie Wenger

    Di Tondo, Manila, MSF bekerja dengan LSM lokal Likhaan. Foto ini diambil pada 2019, sebelum pandemi. © Melanie Wenger

    • Oktober 2016: Kami mulai bekerja dengan mitra lokal Likhaan, memberikan perawatan dan layanan kesehatan reproduksi dan seksual terintegrasi di Manila.
    • Oktober 2017: Kami mulai memberikan dukungan kepada Departemen Kesehatan di Kota Marawi pascakonflik.
    • 2018: Kami melayani sekitar 18.000 konsultasi, termasuk lebih dari 12.000 tentang kontrasepsi, perawatan kesehatan untuk 65 orang penyintas kekerasan seksual, dan 1700 konsultasi pra dan pascamelahirkan.
    • 2020: Tim membantu kegiatan pelacakan kontak di tingkat warga, dan membantu penerapan langkah-langkah PPI di fasilitas kesehatan yang memberikan perawatan kepada pasien COVID-19.
    • Juni hingga Oktober 2020: Kami mulai mendukung RS San Lazaro Manila dengan sumber daya manusia, APD, peralatan biomedis, dan farmasi.
    • Juli 2020: Mobil informasi keliling COVID-19 menyampaikan pesan promosi kesehatan pada penduduk yang rentan di Marawi. Tim ini melatih banyak tim kesehatan setempat yang bertanggung jawab atas pengawasan COVID-19.
    • November 2020: Dua topan menerjang Filipina secara berurutan. Kami mengadakan pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) seputar COVID-19, serta menyumbang alat pelindung diri (APD) bagi mereka yang berada di pusat-pusat evakuasi.
    • Desember 2020: Setelah lima tahun, kegiatan di Klinik Lila diserahterimakan kepada Likhaan.

     

    Membantu layanan kesehatan seksual dan reproduksi di daerah kumuh Manila 

    Pada 2015, pemerintah Filipina meningkatkan upayanya untuk memerangi kanker serviks, dengan memprioritaskan wanita di wilayah termiskin negara itu. Penilaian oleh Doctors Without Borders menegaskan perlunya perawatan kesehatan seksual dan reproduksi di daerah kumuh perkotaan Tondo, di ibu kota Manila.  

    Pada tahun 2016, kami meluncurkan kemitraan dengan organisasi non-pemerintah lokal Likhaan, untuk mendukung klinik yang menyediakan pemindaian kanker serviks dan krioterapi bersama dengan layanan kesehatan seksual dan keluarga berencana lainnya. Tim memberikan informasi tentang masalah kesehatan seksual seperti infeksi menular seksual, dan memberikan konsultasi serta pengobatan gratis. 

    Antara 2016 dan 2020, hampir 12.000 wanita dipindai, termasuk 6.400 orang yang baru pertama kali melakukan pemindaian. Dengan bantuan dinas Kesehatan Kota Manila, proyek tersebut meluncurkan putaran pertama vaksinasi pada Februari 2017. Lebih dari 25.000 gadis muda berusia 9 hingga 13 tahun menerima vaksin. 

    Pada 2019, proyek memberikan bantuan kesehatan berupa 35.600 konsultasi rawat jalan dan 1.120 konsultasi antenatal. Selain itu, tim melakukan total 15.049 sesi keluarga berencana dan memindai 4.352 wanita. 

    Selama lima tahun, proyek tersebut membantu penduduk San Andres dan Tondo, dua komunitas penduduk terpadat dan termiskin di Manila. Pada akhir tahun 2020, kegiatan diserahterimakan kepada Likhaan. 

    A session on sexual violence level in the Lila Clinic, Manila. ©Melanie Wenger

    Sebuah sesi tentang tingkat kekerasan seksual di Klinik Lila, Manila. © Melanie Wenger

    Kisah pasien: Menyelamatkan nyawa yang tak terlihat  

    "Kami melihatnya di TV, mereka yang mati muda karena kanker di rahim," jelas Mary Jane.

    Pemerintah meningkatkan upayanya untuk memerangi kanker serviks di daerah pedesaan, tetapi Tondo secara teknis berada di Manila, pusat ekonomi negara itu. Intinya, Mary Jane tak terlihat. 

    Mary Jane mengirim putri dan keponakannya untuk divaksinasi. Karena mereka tahu semua tentang penyakit mematikan itu, mereka tahu bahwa imunisasi itu perlu, meskipun menakutkan. 

    Pertama kali, kata keponakan Mary Jane, dia agak gugup. "Saya tidak mau melihat jarumnya. Saya melihat ibu saya." 

    Memberi perawatan kesehatan utama setelah pengepungan Marawi 

    Pada Mei 2017, kelompok terkait ISIS mengepung kota Marawi, di bagian selatan negara itu. Konflik meletus antara tentara Filipina dan kelompok tersebut. Pengepungan berlangsung selama lima bulan, dan sekitar 370.000 penduduk setempat terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    Pasca pengepungan, Doctors Without Borders memastikan para pengungsi memiliki akses ke air bersih dan gratis, sehingga mereka dapat menjaga kebersihan dengan layak untuk mencegah wabah penyakit. Konselor kesehatan mental mengorganisir kegiatan psiko-sosial bagi mereka yang menghadapi guncangan karena melarikan diri dari kekerasan. Stres juga memengaruhi anak-anak, sehingga sesi terapi bermain diadakan untuk membuat mereka merasa seperti anak-anak lagi. 

    Supporting mental health after the Marawi siege ©Melanie Wenger

    Mendukung kesehatan mental setelah pengepungan Marawi © Melanie Wenger

    Sejak akhir pengepungan pada Oktober 2017, telah terjadi wabah campak, demam berdarah, dan polio. Segera setelah pengepungan, tim mulai menyediakan sumber daya dan pasokan kesehatan di bagian terpadat Kota Marawi pascakonflik. Doctors Without Borders merawat 2.300 pasien antara akhir Oktober hingga akhir Desember 2018. 

    Lebih dari tiga tahun kemudian, sekira 70.000 orang terus hidup dalam kondisi yang keras di tempat penampungan sementara, dan 50.000 lainnya diperkirakan tinggal di rumah anggota keluarga lain. 

    Saat ini kami membantu tiga pusat kesehatan di daerah tersebut, menyediakan perawatan kesehatan mental, mengobati penyakit tidak menular, dan memberikan pengobatan gratis. 

    Primary healthcare in Marawi ©Veejay Villafranca/MSF

    Layanan kesehatan utama di Marawi © Veejay Villafranca/MSF 

    Kisah pasien: Mengungsi 

    Sobaida Comadug, 60 tahun, telah menghabiskan seluruh hidupnya di Marawi. Dia menjelaskan tantangan sehari-hari yang mereka hadapi: kekurangan air; tempat penampungan sementara yang jauh dari pasar; mahalnya makanan. Semua faktor ini mendorong orang-orang untuk mengkonsumsi makanan siap makan, sementara dokter merekomendasikan makanan sehat sebagai penunjang pengobatan penyakit tidak menular. 

    “Lebih sulit memasak makanan sehat. Kami jauh dari pedagang buah dan sayur, dan kalaupun bisa menjangkau mereka, kami tidak punya air bersih untuk mencucinya," kata Sobaida. 

    Tim kesehatan tiba satu hari setelah Topan Haiyan  

    Pada tahun 2013, Topan Haiyan — salah satu topan super kuat yang pernah tercatat — menyebabkan lebih dari 6.300 orang dinyatakan meninggal dan membuat empat juta orang mengungsi di Filipina. Prasarana penting rusak atau hancur, dan persediaan darurat tersapu. Kebutuhan kesehatan sangat besar, dan risiko wabah penyakit menular tinggi. 

    A health worker treats a paediatric patient. ©MSF

    Seorang petugas kesehatan merawat pasien anak-anak. © MSF

    Doctors Without Borders berhasil mengirim tim ke daerah yang terdampak dalam satu hari setelah topan super menerjang. 

    Upaya bantuan meliputi 11.624 tindakan bedah; 29.188 vaksinasi untuk tetanus, campak, polio dan hepatitis;27.044 perawatan kesehatan mental dan/atau sesi konseling; 2.445 persalinan bayi; klinik keliling di 133 lokasi berbeda; pembangunan satu RS semi permanen; rehabilitasi tujuh RS; distribusi 71.979 perlengkapan bantuan; paket makanan untuk 50.000 orang; dan penyaluran 14.473.500 liter air. 

    Secara total, kami mengirim 1.855 ton kargo dan mengerahkan hampir 800 pekerja bantuan ke negara itu.

    Kisah pasien: Kehilangan segalanya 

    "Ketika topan menerjang kota kami, kami mencari perlindungan di rumah orang tua saya," kata ibu dari Niño Padernos yang berusia lima bulan. "Angin begitu kencang hingga menerbangkan atap rumah. Niño terendam dalam air. Kami tidak bisa menyelimuti atau mengeringkannya karena semua barang kami basah. Kami tidak punya apapun, kami kehilangan segalanya." 

    Topan Haiyan mendatangkan malapetaka di Guiuan, sebuah kota berpenduduk sekitar 45.000 orang di timur pulau Samar. Lebih dari seminggu setelah badai, Niño dan keluarganya tinggal di rumah darurat yang terbuat dari kayu rusak sisa-sisa rumah mereka yang hancur. 

    "Dua hari lalu dia demam. Demamnya tidak turun," kata ibu Niño. "Saya sangat khawatir. Tidak ada pusat kesehatan gratis di dekat kota kami; sudah hancur. Kami bertanya kemana kami bisa membawa putra kami. Kami tak punya uang untuk berobat dan dia adalah anak kami satu-satunya. Warga menyuruh kami datang ke sini ke Guiuan. Mereka mengatakan MSF memberikan perawatan gratis dan dapat membantu kami." Mereka melakukan perjalanan dari kota Buabua, satu setengah jam dengan sepeda motor dari kota Guiuan.

    Niño dimasukkan ke RS tenda MSF di Guiuan, di mana dia dirawat. 

    Cerita dari lapangan: Setelah badai 

    Sepuluh hari setelah topan melanda, Koordinator Kedaruratan Caroline Seguin menggambarkan tantangan logistik yang sangat besar untuk mengirimkan bantuan darurat.

    Bringing services and supplies to distant towns ©MSF

    Membawa layanan dan perbekalan ke kota-kota yang jauh © MSF

    "Kami berhasil membawa lebih dari 150 staf dan ratusan ton pasokan ke negara ini. Kebutuhan perawatan kesehatan sangatlah penting, terutama karena kondisi lingkungan yang memperburuk risiko infeksi saluran pernafasan, pneumonia dan penyakit yang ditularkan melalui air. Di sebagian besar tempat kami bekerja, sistem kesehatan sangat terganggu dan kami berfokus pada pemulihan kualitas layanan kesehatan utama dan RS. Di Guiuan, RS tenda telah didirikan di lokasi RS yang rusak. Di Tacloban, RS tiup akan didirikan dan akan menyediakan semua layanan termasuk ruang gawat darurat, departemen rawat inap, serta ruang operasi. Tim kami akan segera menyiapkan unit persalinan, obstetri dan ginekologi. Kebutuhan akan layanan kesehatan mental luar biasa besar. Ini adalah aspek yang sangat penting dari respon kami, dan cukup mudah diterapkan dibandingkan dengan layanan lain yang lebih menantang secara logistik." 

    Respons COVID-19 

    Mendukung RS San Lazaro

    Pada Januari 2020, kasus COVID-19 pertama di negara itu dirawat di RS San Lazaro (RS SL), Rumah Sakit Pusat Kesehatan Nasional Khusus untuk Penyakit Menular di Manila. 

    Staff get swabbed for COVID-19 after their deployment at San Lazaro Hospital. ©Veejay Villafranca/MSF

    Staf diperiksa usap (swab) COVID-19 setelah penugasan mereka di RS San Lazaro. © Veejay Villafranca/MSF 

    RS SL awalnya memiliki dua Unit Perawatan Intensif COVID-19 dan tiga bangsal. Doctors Without Borders mendorong pengujian di RS SL, manajemen data, dan kapasitas manajemen kasus, dengan peralatan biomedis, persediaan kesehatan, perlengkapan pelindung diri, pelatihan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi, serta perbaikan infrastruktur. 

    ©Veejay Villafranca/MSF

    © Veejay Villafranca / MSF 

    Kami juga mendukung RS SL dengan sumber daya manusia untuk membantu di Departemen Laboratorium dan Epidemiologi, serta dokter dan perawat untuk membantu di bangsal dan triase COVID-19, serta bangsal tuberkulosis.  

    Melindungi dari virus di daerah kumuh 

    Sulit untuk berlindung dari pandemi di masyarakat miskin perkotaan yang padat penduduk di Manila, di mana satu barangay (unit administrasi pemerintahan terkecil di Filipina) memiliki populasi 55.000 hingga 61.000 jiwa.

    Untuk periode singkat pada tahun 2020, isolasi mandiri di rumah diizinkan oleh pemerintah. Di daerah kumuh Tondo, kami membantu rumah tangga dan kontak dekat mereka dengan lebih dari 2.000 perlengkapan kebersihan. Karena mereka yang berada di karantina tidak bisa bekerja, kami bekerja sama dengan jemaah setempat untuk menyediakan paket makanan sesuai kebutuhan. Mereka yang berada di karantina juga menerima dukungan kesehatan mental dan psikososial. 

    Di pusat kesehatan barangay, kami berkontribusi untuk meningkatkan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), melalui pelatihan, penyediaan alat pelindung diri, tempat cuci tangan, perlengkapan kebersihan, dan materi edukasi tentang virus. Kami juga membantu pelacakan kontak. 

    Untuk membantu melindungi staf tanggap darurat kesehatan barangay, kami menyediakan pasokan PPI: masker, pelindung wajah, alkohol, dan sabun tangan. Gerakan ini juga memproduksi materi video komunikasi risiko. 

    Cerita dari lapangan: Tantangan isolasi di daerah kumuh 

    Isolasi mandiri di rumah merupakan tantangan dalam rumah tangga kecil semacam ini. Pekerja sosial Lyka Lucena berbagi, "Isolasi mandiri sangat sulit - hampir tidak mungkin - bagi mereka yang tinggal di daerah kumuh. Sangat jarang menemukan ruang terpisah untuk pasien. Banyak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok karena masalah ekonomi seperti pengangguran mendadak dan hilangnya sumber pendapatan bagi mereka yang berada di sektor informal." 

    Masalah kesehatan mental membuat hal ini semakin sulit. "Banyak yang berada di karantina mandiri mengalami kecemasan dan tekanan emosi. Mereka khawatir akan menginfeksi orang lain terutama orang yang mereka cintai. Mereka juga takut sakit atau tertular virus lagi. Banyak pasien mengalami kesepian karena jauh dari keluarga. Banyak yang mengungkapkan perasaan marah, frustrasi, dan ketidakberdayaan terhadap situasi mereka." 

    Kisah pasien: Selain obat dan masker 

    Seringkali, petugas layanan kesehatan memberikan lebih dari sekedar pengobatan dan prosedur. Perawat Rhomina Suan berbagi, “Ketika pasien ini dirawat, dia sangat mengkhawatirkan anak-anaknya. Setelah masuk RS, satu-satunya gejala yang dia alami adalah demam dan sakit tenggorokan. Tes usapnya, bahkan setelah seminggu dirawat di RS, tetap positif. Beberapa hari kemudian, saturasi oksigennya menurun, membutuhkan penggunaan sungkup pernafasan (Non-Rebreather Mask/NRM). Kami mulai menambahkan dosis antibiotik. Dia menjadi semakin cemas, bahkan frustrasi.” 

    “Dia selalu mengenali suara saya saat saya masuk ke kamarnya. Dia selalu berkata, 'Mina, kamu sangat ceria, bukan?' Saya menjawab, 'Tentu saja, Bu, saya ingin Anda seenergik saya! Pokoknya, kami ingin tingkat oksigen Anda naik, sehingga kami dapat melepas NRM."" 

    Pasien membaik segera setelah itu dan dipulangkan beberapa hari kemudian. 

    Melampaui batas kepulauan 

    Kami memiliki banyak pekerja lapangan dan staf dari Filipina, yang bekerja di keadaan darurat, misi, dan proyek di seluruh dunia. 

    Di Lebanon, ahli anestesi Filipina, Karina Aguilar bercerita tentang pekerjaannya di sebuah RS di Bar Elias.

    Apa yang dilakukan seorang Koordinator Keuangan Filipina di Yaman? Bacalah cerita Melvin Kaibigan.