Skip to main content

    Di Lebanon, Doctors Without Borders menyediakan perawatan di tengah krisis yang tumpang tindih

    An MSF health promoter and an MSF nurse in the streets of Beirut, Lebanon

    Dayana Tabbarah, promotor kesehatan Doctors Without Borders, dan Hala Hussein, perawat Doctors Without Borders, di jalanan kamp Burj al-Barajneh, Beirut. Bersama-sama, mereka mengunjungi rumah pasien yang telah setuju untuk berpartisipasi dalam pendekatan berpembatas yang baru-baru ini diberlakukan oleh Doctors Without Borders di kamp. © Diego Ibarra Sánchez 

    Sistem kesehatan masyarakat yang lemah, yang sudah seringkali menghadapi kekurangan obat-obatan dan persediaan medis lainnya akibat krisis keuangan, juga berjuang untuk mengatasi meningkatnya jumlah kasus COVID-19, yang kurang dari 200 kasus sehari sebelum ledakan bertambah hingga rata-rata 1.500 kasus per hari pada Desember 2020. Hingga saat ini, total lebih dari 199.000 kasus telah dilaporkan. 

    An MSF nurse is measuring a patient's blood pressure level

    Hala, perawat Doctors Without Borders, sedang mengukur tekanan darah Mousera sebagai bagian dari prosedur rutin selama kunjungan pembatasan. Mousera, seorang wanita Lebanon berusia 73 tahun, menderita hipertensi, asma dan sakit punggung, dan dianggap berisiko lebih tinggi tertular COVID-19. Dia tinggal sendirian di rumahnya di kamp Burj al-Barajneh, Beirut. © Diego Ibarra Sánchez 

    Sejak Agustus 2020, Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) telah meningkatkan upayanya untuk merespons pandemi COVID-19 di Lebanon dan mendukung sistem kesehatan nasional dalam menangani pandemi. Organisasi ini untuk sementara waktu mengubah rumah sakitnya di Bar Elias, di Lembah Bekaa, menjadi fasilitas COVID-19 dan mendukung pusat isolasi di Sibline, di selatan negara itu. 

    Selamat dari ledakan 

    Thérèse, 85 tahun, tinggal di Karantina, lingkungan dekat pelabuhan Beirut yang terdampak ledakan dahsyat pada 4 Agustus 2020. Meskipun dia hanya terluka ringan, apartemennya rusak akibat ledakan tersebut. Mesin jahitnya rusak, menghilangkan satu-satunya sumber pendapatannya.

    Thérèse, aged 85, lives in Karantina, Beirut

    Thérèse, 85 tahun, tinggal di Karantina, lingkungan dekat pelabuhan Beirut, Lebanon. Mesin jahitnya rusak, menghilangkan satu-satunya sumber pendapatannya.   © Karine Pierre/Hans Lucas

    “Ledakan itu menghancurkan semua jendela di apartemen saya. Saya berada di balkon ketika itu terjadi dan saya terlempar ke lantai. Kepala saya berdarah dan kaki saya terluka karena pecahan kaca. Guncangan karena jatuh juga memperburuk sakit punggung saya. Beberapa rak dan tempat tidur saya rusak. Inilah mengapa saya tidur di sofa ruang tamu sekarang dan menggunakan kamar tidur untuk menyimpan semua perabotan yang rusak. Saya menjahit gorden baru dengan tangan menggunakan kain lama untuk mengganti gorden yang rusak." 

    Sejak saat itu, mantan penjahit ini lebih banyak mengandalkan solidaritas masyarakat dan bantuan kemanusiaan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. “Saya masih melakukan beberapa pekerjaan menjahit kecil sebelum ledakan, meskipun saya mengalami sakit punggung dan penglihatan berkurang. Saya memiliki sedikit tabungan dan menerima bantuan tunai dari organisasi internasional. Perkumpulan lokal juga membawakan saya kotak makanan beberapa kali seminggu. Saya hampir tidak bisa berjalan dan jarang pergi keluar, namun tetangga banyak membantu saya. Beberapa mantan klien juga mampir dari waktu ke waktu untuk memeriksa saya. Secara keseluruhan, saya berhasil melewatinya.” 

    Bukan hanya ledakan saja yang harus dihadapi Thérèse. “Ketika dokter dari Doctors Without Borders berkunjung, dia memberi tahu bahwa saya menderita diabetes. Saya tidak pernah menderita diabetes sebelumnya. Hipertensi saya juga meningkat belakangan ini. Saya pikir ini semua terkait dengan ledakan. Saya jadi sangat berhati-hati minum obat setiap hari dan makan sehat karena saya tidak mampu membayar biaya RS jika saya mengalami masalah kesehatan yang serius." 

    Meski demikian, dia tetap penuh harapan. “Ini adalah saat yang penuh tekanan bagi semua orang, tapi saya sudah tua dan merasa pernah punya kehidupan yang baik. Untuk generasi yang lebih muda, saya tidak tahu apa yang akan terjadi ... Kita harus tetap yakin.” 

    Peduli dalam krisis  

    Salah seorang yang bekerja di Lebanon, khususnya di Bar Elias, merawat pasien seperti Thérèse, adalah dokter Filipina, Karina Aguilar. Karina adalah Manajer Kegiatan Kesehatan sebuah RS di Bar Elias, dan menjelaskan pekerjaan yang mereka lakukan. “RS Doctors Without Borders di Bar Elias biasanya menyediakan operasi tidak mendesak, seperti untuk hernia, wasir dan kista, serta operasi ginekologi, juga perawatan pasca luka, seperti cedera kaki karena diabetes dan luka akibat bisul." 

    “Pada pertengahan September 2020, kami telah mengalihkan kegiatan kami untuk merespons peningkatan kasus COVID-19 di Lebanon dan sekarang mengoperasikan RS dengan 20 ranjang yang melayani pasien COVID-19 terkonfirmasi. Kami memiliki 5 ranjang di ICU dan 15 ranjang untuk departemen rawat inap. Selain perawatan kesehatan, Doctors Without Borders menyediakan layanan fisioterapi dan kesehatan mental bagi semua pasien COVID-19. Tim promosi kesehatan juga meningkatkan kesadaran mengenai pencegahan, pembatasan, dan tanda-tanda bahaya terkait COVID-19.” 

    Dengan pandemi, krisis ekonomi, dan ledakan, mereka telah melihat begitu banyak pasien di rumah sakit. Dia mengenang, “Pada awal proyek di Bar Elias, tahun 2017 lalu, orang-orang yang paling sering mengunjungi kami untuk mendapatkan bantuan kesehatan adalah para pengungsi Suriah dan Palestina, serta pekerja migran, baik yang tinggal di daerah sekitar atau dirujuk kepada kami oleh struktur kesehatan lainnya di negara ini. Tapi sekarang, dengan krisis ekonomi di sini di Lebanon, semakin banyak orang membutuhkan bantuan kami karena banyak orang, termasuk penduduk Lebanon, tidak mampu lagi membayar perawatan kesehatan. Sekarang bahkan lebih nyata, dengan COVID-19. Saya telah bertemu dengan berbagai macam orang: Lebanon, Suriah, Palestina, kaya, miskin, kelas menengah, dll. Kebanyakan dari mereka takut kehilangan orang yang mereka cintai, dan tidak dapat melihat mereka karena pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke dalam RS. Kami meyakinkan mereka bahwa kami akan melakukan semua yang kami bisa, dan tim kami akan memberi kabar tentang status pasien setiap hari kepada keluarga. Pasien kami sering merasa terisolasi di dalam ruangan, dan mereka dikunjungi oleh tim kesehatan mental kami setiap hari, untuk meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri.” 

    Karina telah bergabung dengan Doctors Without Borders sejak 2012. Terlepas dari lingkungan yang suram, Karina, seperti Thérèse, memiliki harapan. “Saya percaya bahwa setiap manusia memiliki hak atas perawatan kesehatan dan tindakan operasi yang berkualitas. Dengan Doctors Without Borders, saya bisa merawat pasien yang paling membutuhkan, dengan sedikit atau tanpa kompromi pada kualitas. Saya telah pergi ke tempat-tempat yang bahkan tak terpikirkan oleh siapa pun, memberi perawatan kesehatan pada orang-orang yang berjalan selama berhari-hari hanya untuk dapat menemui dokter. Ini penting terutama pada saat-saat seperti ini, ketika terjadi pandemi, terlebih lagi di negara yang sedang mengalami krisis ekonomi. Saya senang mengetahui orang yang dalam keadaan normal kemungkinan besar akan meninggal di rumah, karena mereka tidak mampu membayar perawatan untuk COVID-19, punya kesempatan untuk dirawat di RS kami secara gratis.” 

    Dia menambahkan, "Melihat wajah pasien kami saat dipulangkan, dan pesan terima kasih mereka atas layanan kami, adalah perasaan yang luar biasa." 

    Karina Marie Aguilar
    Anesthesiologist

    Karina Marie Vera Aguilar has been working with Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) since 2012. She has worked in projects from Pakistan and Yemen to Haiti and Afghanistan. In 2020 she finished her mission for Doctors Without Borders Bamenda project in Cameroon, where she served as Medical Activity Manager. After that, she worked in Lebanon.