Bencana Alam
Bencana alam - topan, banjir, letusan gunung berapi, tsunami, dan sebagainya - bisa berdampak buruk bagi seluruh masyarakat. Ratusan atau bahkan ribuan orang bisa terluka, dan menghancurkan rumah serta mata pencaharian. Akses ke air bersih, layanan kesehatan, dan transportasi dapat terganggu.
Dari bencana skala besar hingga keadaan darurat lokal, Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) selalu siap untuk merespons. Kami memiliki pengalaman 50 tahun dalam merespons kedaruratan, serta jaringan pekerja bantuan dan persediaan yang luas di seluruh dunia yang dapat dimobilisasi sesuai kebutuhan. .
Di Manila dan sekitarnya, tim Doctors Without Borders bekerja untuk memberikan perawatan kesehatan dan distribusi barang-barang non-makanan kepada orang-orang yang paling rentan terdampak tiga topan dan badai tropis pada bulan Oktober dan November 2009. Puluhan ribu orang masih tinggal di daerah banjir dalam kondisi kritis di daerah kumuh dekat kanal timur Manila dan utara, serta tenggara kawasan Laguna de Bay. Orang-orang ini sangat rentan karena mereka tinggal di pusat-pusat evakuasi yang padat atau di rumah-rumah yang tergenang air sebagian © Benoit Finck/MSF
Respons Cepat
Pada 8 November 2013, topan Haiyan, salah satu topan terkuat dan paling mematikan yang pernah tercatat, meluluhlantahkan Filipina.
“Bencana semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya di Filipina. Dampaknya seperti gempa bumi besar yang diikuti dengan banjir besar,” kata Dr Natasha Reyes, koordinator kedaruratan Doctors Without Borders di Filipina.
Sehari setelah topan menerjang, tim kami di lapangan siap mengoordinasikan upaya bantuan kami. Itu adalah tanggap darurat terbesar Doctors Without Borders di Filipina dan wilayah tersebut. Kami melakukan:
- 11.624 tindakan bedah
- 29.188 vaksinasi untuk tetanus, campak, polio dan hepatitis
- 27.044 perawatan kesehatan mental dan/atau sesi konseling
- 2.445 persalinan bayi
Kami juga mendistribusikan:
- 71.979 perlengkapan bantuan
- paket makanan untuk 50.000 orang
- dan penyaluran 14.473.500 liter air.
Klinik keliling dilakukan di 133 lokasi berbeda dan kami membangun satu RS semi permanen. Serta melakukan rehabilitasi tujuh RS.
Cerita dari lapangan: Merespons tiga bencana di Sulawesi Tengah
Ketika gempa bumi dan tsunami dahsyat melanda Sulawesi Tengah di Indonesia, Dokter Rangi W. Sudrajat bergabung dengan tim tanggap daruratDoctors Without Borders yang dikirim untuk menjangkau masyarakat yang terputus akibat bencana.
Saat itu tanggal 7 Oktober, sembilan hari setelah gempa bermagnitudo 7,5 menyusul tsunami setinggi enam meter yang menerjang dan melumpuhkan Sulawesi Tengah. Korban tewas meningkat menjadi 1.900 dan terus bertambah, TV di bandara Makassar berbunyi keras sebelum Dr Rangi naik pesawat menuju Kota Palu.
Sesampainya di Palu, banyak orang menunggu di bandara, berusaha naik pesawat untuk keluar dari kota. Dia melihat seorang anak laki-laki dengan perban besar di kepalanya tidur di pangkuan ibunya. Bandaranya ramai, pesawat militer diparkir di sekitar landasan pacu yang baru diperbaiki, dan menara pengawas lalu lintas udara yang sekarang telah runtuh, menyisakan puing reruntuhan.
Porak-poranda. Kelurahan Talise di Kecamatan Mantikulore, Kota Palu termasuk salah satu yang terkena dampak terparah pasca gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu. © Dirna Mayasari/MSF
Terputus dari dunia luar
Keesokan harinya, dr. Rangi bersama perawat, serta ahli air dan sanitasi (watsan) - logistik bergabung dengan klinik keliling, melakukan perjalanan ke puskesmas di kota Baluase yang terhantam bencana di Sigi - salah satu dari tiga provinsi yang rusak oleh tiga bencana gempa bumi-tsunami-likuifaksi. Kepala puskesmas mengatakan kepada tim bahwa biasanya orang bisa mencapai kota dalam waktu kurang dari satu jam. Tapi, pascagempa, kini butuh waktu dua kali lipat untuk sampai ke lokasi.
Tanda bertuliskan "Butuh pertolongan medis di Sigi © Rangi W. Sudrajat/MSF
Dari jendela kecil mobil, dr. Rangi bisa melihat rerumputan tinggi di sekeliling dan jalan tanah yang baru dibuat. Militer telah menebang ladang dan menuangkan pasir ke tanah untuk membuat jalan ini karena gempa benar-benar memutuskan Sigi dari dunia luar.
Reruntuhan dan kerusakan ditemukan dimanapun dia melihat Sigi. Tanah terbelah, rumah-rumah runtuh, dan bangunan-bangunan hancur luluh-lantak. Dari kejauhan, sepertinya tidak terjadi apa-apa pada bangunan yang dulunya adalah Puskesmas Baluase, namun jika kita mendekat, ternyata pusat pelayanan kesehatan kabupaten yang melayani lebih dari 15.000 orang itu, rusak parah.
Namun Doctors Without Borders sudah memiliki rencana aksi untuk memulihkan layanan kesehatan di daerah tersebut. Pada 15 Oktober 2018, fondasi untuk Puskesmas sementara telah didirikan oleh tim Doctors Without Borders.
Sementara tim logistik dan watsan bekerja keras untuk membangun kembali puskesmas, Dr. Rangi dan tim kesehatannya, didukung oleh staf Puskesmas, memulai kegiatan klinik keliling harian mereka di 13 desa di Kabupaten Dolo Selatan.
dr. Rangi pernah bekerja dalam kedaruratan dengan organisasi ini sebelumnya, tetapi merawat orang-orang yang menjadi korban bencana alam berskala besar di negara asalnya sama sekali berbeda dan memilukan. Hal tersebut tentunya meninggalkan dampak pribadi bagi dr. Rangi sebagai seorang individu.
Ketika ini terjadi, dia melakukan apa yang biasanya dia lakukan dalam misi lainnya, dia menghabiskan waktu bermain dengan orang-orang favoritnya - anak-anak.
Mengakses Zona Bencana
Doctors Without Borders memiliki tim darurat yang ahli dalam melakukan penilaian cepat dan mengatur respons dengan kilat.
Persediaan kesehatan dan logistik, dalam bentuk peralatan yang telah dikemas sebelumnya, yang siap digunakan dengan cepat, disimpan dalam gudang di lokasi-lokasi utama di seluruh dunia.
Daftar staf berpengalaman yang bersedia meninggalkan segalanya dan segera bertugas dalam bencana di mana pun di dunia menunjukkan kami bisa berada di tempat orang-orang membutuhkan kami sesegera mungkin. Bantuan kesehatan yang mendesak tidak bisa menunggu.
Cerita dari lapangan: Tanggap darurat di Filipina setelah topan Goni dan Ulysses menyebabkan kerusakan yang meluas di Filipina
Pada tanggal 1 November, salah satu topan terkuat di tahun 2020 melanda Filipina. Goni, atau yang biasa disebut Rolly di Filipina, menyebabkan kerusakan luas di seluruh wilayah Bicol, terutama provinsi Catanduanes dan Albay, sekitar 300 km tenggara Manila. Tepat sebelum menerjang, Goni dinilai sebagai topan kategori 5, tingkat paling parah.
Gambaran kegiatan penjangkauan dan penilaian kesehatan di Pulau San Miguel, Provinsi Catanduanes, Filipina, menyusul terjangan topan Goni dan Ulysses. Kerusakan parah terlihat pada rumah-rumah, namun korban jiwa sangat sedikit. © MSF
Gambaran kegiatan penjangkauan dan penilaian kesehatan di Pulau San Miguel, Provinsi Catanduanes, Filipina, menyusul terjangan topan Goni dan Ulysses. Kerusakan parah terlihat pada rumah-rumah, namun korban jiwa sangat sedikit. © MSF
Tiga minggu kemudian, sebagian besar wilayah Albay dan Catanduanes masih tanpa listrik, sementara jangkauan seluler dan koneksi internet tetap tak dapat diandalkan. Setelah kerusakan yang diakibatkan oleh topan Goni, tim penilai Doctors Without Borders dikirim ke setiap provinsi.
Namun, kedua tim langsung mendapat tantangan baru, saat topan Ulysses menerjang pada 11 dan 12 November, menyebabkan penilaian dan respons Doctors Without Borders tertunda. “Tim kami harus berhenti bekerja dan menunggu Ulysses berlalu. Pada akhirnya daerah utara Manila yang paling terdampak,” kata Jean-Luc Anglade, kepala misi Doctors Without Borders di Filipina.
“Kami pertama kali mengunjungi kota Guinobatan, di mana topan menyebabkan lahar ganas. Ini adalah pertama kalinya dalam ingatan penduduk setempat bahwa desa San Francisco dan Travesia diterjang lahar. Saat mengamati daerah itu dan berjalan di atas batu-batu besar, kami diberi tahu bahwa dulunya ada sebuah rumah di tempat kami berdiri. Itu sangat menyedihkan,” kata dr. Rey Anicete, pemimpin tim darurat Doctors Without Borders di Albay.
Doctors Without Borders mulai mendistribusikan jerigen untuk menyimpan air minum dan alat pencegahan COVID-19, yang terdiri dari dua masker yang dapat dicuci, pembersih tangan, serta satu pelindung wajah per orang, di kedua pusat evakuasi. Pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi (Infection Prevention and Control/IPC) seputar COVID-19, bersama dengan sumbangan Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas di pengungsian telah direncanakan.
Keluarga harus tinggal di pusat evakuasi di mana Doctors Without Borders menyediakan jerigen, dan APD untuk mencegah wabah COVID-19 di pusat-pusat evakuasi. © MSF
“COVID-19 telah sangat mempengaruhi kehidupan warga di Filipina sejak Maret, dan di pusat evakuasi, sangat penting untuk menjaga kebersihan serta menjaga jarak sosial untuk mencegah wabah. Staf kesehatan dan pengungsi memiliki peran penting dalam mencapai tujuan IPC,” ujar Allen Borja, perawat IPC Doctors Without Borders di Albay.
Di Catanduanes, sebuah provinsi pulau, enam dari 11 kota rusak parah ketika topan Goni mengahantam wilayah tersebut. Pulau ini paling menderita dalam hal kerusakan dan hilangnya mata pencaharian. Untung saja, masyarakat di provinsi ini dapat segera meninggalkan pusat evakuasi untuk kembali ke rumah mereka dan mulai memperbaikinya.
“Tim Doctors Without Borders mengirimkan responsnya pada 24 November di San Miguel, salah satu dari empat kota yang dipertimbangkan dalam penanggulangan tersebut. Bersama dengan petugas kesehatan Dinas Kesehatan Kota, satu dokter Doctors Without Borders dan satu perawat menyediakan bantuan kesehatan untuk kegiatan penjangkauan di desa-desa yang paling terdampak. Tim memulai pendistribusian aquatabs untuk penjernihan air dan jerigen untuk menyimpan air minum bagi sekitar 2.500 keluarga,” kata dr. Hana Badando, ketua tim darurat di Virac, Catanduanes.
Mengobati Yang Terluka
Salah satu prioritas kami adalah mengevaluasi apakah banyak korban luka dan kapasitas kesehatan setempat yang terkena bencana. Jika orang-orang yang menderita luka dan patah tulang tidak mengakses perawatan, termasuk perawatan pasca operasi yang tepat, luka mereka dapat dengan cepat terinfeksi.
Doctors Without Borders akan mengirimkan unit kesehatan untuk melakukan prosedur pembedahan, memberikan perawatan pasca operasi, dan fisioterapi. Kami bisa mengerahkan RS keliling, seperti RS tiup, yang sangat sesuai setelah gempa bumi ketika terjadi gempa susulan.
Pemulihan layanan kesehatan rutin dan distribusi tempat penampungan serta barang bantuan dasar juga merupakan salah satu prioritas. Tapi bukan hanya cedera fisik yang menjadi fokus. Memberikan dukungan kesehatan mental juga diperlukan untuk membantu warga pulih dari trauma peristiwa tersebut.
Sulawesi Tengah: Fasilitas Kesehatan Doctors Without Borders Masih Melayani Masyarakat yang Terpukul Akibat Bencana
Enam bulan setelah tiga kali bencana gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang melanda Sulawesi Tengah, fasilitas kesehatan sementara yang dibangun oleh Doctors Without Borders di Kecamatan Dolo Selatan terus melayani masyarakat terdampak. Ketika Puskesmas Baluase rusak berat akibat bencana, 12 desa kehilangan akses ke perawatan kesehatan.
Selain menyediakan layanan medis dan kesehatan keliling, tim lokal Doctors Without Borders, berkoordinasi dengan Puskesmas Baluase dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi, memutuskan untuk membangun puskesmas sementara dengan unit rawat jalan, kebidanan, dan gawat darurat, serta fasilitas air dan toilet.
dr. Adelide Krisnawati Borman, atau dr. Krisna, Kepala Puskesmas Baluase, Kecamatan Dolo Selatan, Sulawesi Tengah, mengatakan, “Saat Doctors Without Borders datang dan menilai kondisi Puskesmas pascagempa, ternyata kondisinya rusak parah. Kami bahkan tak bisa memasuki bangunannya. Doctors Without Borders mendirikan bangunan sementara untuk kami. Hanya butuh sekitar satu atau dua minggu, lalu kami pindah ke sini dan memberikan pelayanan dari sini.”
dr. Krisna menegaskan bahwa puskesmas sementara Baluase yang dibangun oleh Doctors Without Borders memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan. Puskemas memiliki departemen rawat jalan, kebidanan, dan gawat darurat, bahkan fasilitas air dan toilet. Ini adalah salah satu ruangan di fasilitas kesehatan sementara yang digunakan untuk rawat inap. © Eka Nickmatulhuda
dr. Krisna mengatakan, puskesmas ini mencakup 12 desa. Menerima sekitar 20 hingga 30 pasien rawat jalan per hari dan 5 hingga 10 pasien rawat inap harian. Sejak November 2018 ketika layanan kesehatan dimulai, fasilitas tersebut menerima lebih dari 3.000 pasien secara keseluruhan.
dr. Krisna menegaskan bahwa puskesmas sementara Baluase yang dibangun oleh Doctors Without Borders memiliki semua fasilitas yang dibutuhkan. Puskemas memiliki departemen rawat jalan, kebidanan, dan gawat darurat, bahkan fasilitas air dan toilet. Dia menambahkan bahwa mereka bisa memberikan pelayanan kesehatan setiap hari, melakukan rawat jalan, dan poliklinik untuk anak. “Ada apotek, kebidanan, gawat darurat, dan ruang rawat inap. Kami juga punya dapur tempat kami bisa memasak dan juga tersedia toilet. Kami bersyukur terbantu dengan bangunan sementara yang didirikan oleh Doctors Without Borders ini. Kami sangat berterimakasih dan ini sangat bermanfaat bagi kami semua dan masyarakat di sini,” ujarnya.
Fasilitas ini juga memiliki apotek di mana pasien bisa mendapatkan obatnya setelah berkonsultasi dengan dokter. © Eka Nickmatulhuda
Menurut dr. Krisna, stafnya senang dapat terus memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dengan menggunakan puskesmas sementara Doctors Without Borders. Dia mengatakan bahwa pada awalnya, mereka tidak menyangka bangunan itu akan dibuat dengan sangat baik. Tetapi setelah pembangunannya, mereka dapat memulai kembali layanan kesehatan mereka dalam waktu kurang dari sebulan. “Kami mungkin akan menggunakannya selama setahun lagi,” kata dr. Krisna.
Koordinasi dengan Upaya Bantuan Nasional
Respon Doctors Without Borders dikembangkan melalui kolaborasi ekstensif dengan aktor nasional, dengan mempertimbangkan pentingnya upaya dan strategi daerah, serta keterbatasan campur tangan internasional dalam hal waktu, kualitas, dan kesesuaian.
Kami menganalisis nilai tambah dari bantuan yang dapat kami berikan, dan secara teratur mempertanyakan kesesuaian keberadaan kami yang berkelanjutan. Tujuan kami adalah untuk 'menyerahkan kembali' kegiatan kesehatan apa pun kepada otoritas atau mitra setempat setelah mereka tidak lagi membutuhkan dukungan kami.