Skip to main content

    Tentang Doctors Without Borders

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) adalah organisasi kemanusiaan kesehatan internasional. Kami memberikan bantuan kemanusiaan kesehatan darurat yang menyelamatkan jiwa kepada orang-orang yang terdampak konflik bersenjata, epidemi, pandemi, bencana alam dan tersisih dari perawatan kesehatan.

    Kami bekerja di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, dari Afrika Utara hingga Amerika Selatan, Asia Pasifik dan Timur Tengah, di desa-desa yang tak ditemukan di peta mana pun, di kamp-kamp pengungsian, di rumah sakit dan klinik, dalam proyek-proyek, melayani kebutuhan kesehatan mereka yang rentan. 

    Mengutamakan Pasien

    Pasien kami adalah inti dari misi dan operasi kami. Kami bekerja untuk meringankan penderitaan manusia, terutama dalam situasi krisis, untuk melindungi jiwa dan kesehatan. 

    Para pekerja lapangan  Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) memberikan perawatan kesehatan untuk membantu orang-orang selamat dari situasi bencana, di mana masyarakat dan lembaga kesehatan mungkin kewalahan. Di mana memungkinkan, kami juga memiliki proyek penelitian lapangan MSF. Di banyak tempat kami bekerja, tidak ada penyedia layanan kesehatan atau organisasi bantuan lain di lapangan. Di tempat lain, kami bekerja sama dengan kementerian kesehatan setempat atau mitra lainnya untuk memastikan perawatan terbaik bagi pasien kami.

    A child sits in the orthopaedic ward of Boost hospital which is run by MSF in partnership with the Ministry of Public Health in Lashkar gah, helmand, Afghanistan.

    Seorang anak duduk di bangsal ortopedi rumah sakit Boost yang dijalankan oleh Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Masyarakat di Lashkar Gah, Helmand, Afghanistan. © Kadir Van Lohuizen / Noor

    Sejarah kami

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) didirikan pada tahun 1971 di Prancis oleh sekelompok dokter dan jurnalis setelah perang dan kelaparan yang terjadi di Biafra, Nigeria. Tujuannya adalah untuk membentuk organisasi independen yang berfokus pada pemberian bantuan kesehatan darurat di lapangan - dengan cepat, efektif, dan tidak memihak.

    Tiga ratus sukarelawan yang membentuk organisasi ketika didirikan: dokter, perawat, dan staf lainnya, termasuk 13 dokter pendiri dan jurnalis.

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) dibentuk dengan keyakinan bahwa semua orang harus memiliki akses ke perawatan kesehatan tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, keyakinan atau afiliasi politik, dan bahwa kebutuhan kesehatan lebih penting daripada hal-ihwal batas negara. Prinsip tindakan  Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) dijelaskan dalam piagam kami, yang menentukan kerangka kerja untuk misi dan kegiatan kami di seluruh dunia.

    Apa yang kami lakukan

    Misi Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) adalah untuk memberikan perawatan kesehatan yang berkualitas pada semua pasien kami, meskipun dalam keadaan yang menantang dan sumber daya yang terbatas di lapangan.

    Tim kesehatan dan pekerja lapangan kami menawarkan perawatan kesehatan dasar, melakukan operasi, memerangi epidemi, merehabilitasi dan mengelola RS dan klinik, melakukan kampanye vaksinasi, menjalankan pusat nutrisi, menyediakan perawatan kesehatan mental dan sumber daya manusia, serta menawarkan pelatihan kepada staf medis setempat. Terkadang pekerjaan kami mengharuskan kami membangun semacam fasilitas pemrosesan air, atau tenaga listrik pendukung. Di lain waktu, proyek kami menawarkan kesempatan untuk membangun unit penelitian lapangan MSF dan mempublikasikan temuan kami. Staf darurat kami dilatih dan dilengkapi dengan semua yang mereka butuhkan untuk memberikan bantuan cepat kepada orang-orang yang mengalami kegentingan.

    Dengan staf internasional dan karyawan yang direkrut secara lokal, kami juga memberikan perawatan kesehatan dan dukungan psikologis bagi mereka yang hidup dalam situasi kedaruratan kronis, seperti orang-orang yang mengungsi akibat konflik, epidemi, atau bencana. Program kami merawat pasien dengan penyakit menular seperti tuberkulosis, HIV/AIDS, dan kala azar.

    Apabila diperlukan, kami membangun sumur, menyediakan air minum yang aman, dan mendistribusikan material untuk bernaung serta barang bantuan lainnya seperti peralatan memasak dan mencuci.

    MSF nurse, Samantha Hardeman, at the neonatal intensive care. Photo:Kadir Van Lohuizen/Noor

    Perawat Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF), Samantha Hardeman, di unit perawatan intensif neonatal rumah sakit Boost di Afghanistan. © Kadir Van Lohuizen / Noor

    The MSF surgery team in Bangassou is operating a patient who suffers from inguino-scrotal hernia, on January 29, 2021. Photo: Alexis Huguet

    Di Bangassou, Republik Afrika Tengah, tim bedah Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) tengah mengoperasi pasien yang menderita hernia inguino-skrotum pada Januari 2021. © Alexis Huguet/MSF

    Vincenzo Livieri

    Laura, bidan Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF), memeriksa perut seorang pasien yang mengandung di kamp Jamtoli, Bangaladesh. © Vincenzo Livieri/MSF

    The MSF team visited one of the survivors in an evacuation camp at Susukan Kampong, Sukarame Village, Carita Sub district. Here they met a 13-year-old adolescent who is also a beneficiary of the MSF adolescent health project in Banten. Photo: Muhamad Suryandi/MSF

    Tim Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) mengunjungi salah satu korban selamat di kamp evakuasi di Kampung Susukan, Desa Sukarame, Indonesia. Di sini mereka bertemu dengan seorang remaja berusia 13 tahun yang juga merupakan penerima manfaat dari proyek kesehatan remaja MSF di Banten. © Muhamad Suryandi/MSF

    A young girl from Tondo, Manila, is seen in a Likhaan clinic for her free HPV vaccination. Likhaan provides reproductive healthcare services for low income families in the Philippines, where there remains a gap in women's awareness of their reproductive rights.Photo: Hannah Reyes Morales

    Seorang gadis muda dari Tondo, Manila, dirawat di klinik Likhaan untuk mendapatkan vaksinasi HPV gratis. Likhaan menyediakan layanan kesehatan reproduksi untuk keluarga berpenghasilan rendah di Filipina, di mana masih terdapat kesenjangan dalam kesadaran perempuan tentang hak reproduksi mereka. © Hannah Reyes Morales

    Kami bertindak cepat

    Di seluruh dunia, tim Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) sering kali menjadi yang pertama di lapangan, terutama ketika bencana dan keadaan genting. Setiap daerah memiliki pusat logistik sendiri yang siap memasok peralatan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya. Tim lapangan dalam misi penilaian biasanya datang lebih dulu untuk menentukan jenis persediaan, pengetahuan kesehatan dan peralatan yang dibutuhkan. Orang-orang yang kami bantu biasanya memiliki masalah kesehatan beragam: kesehatan mental, trauma, dehidrasi, malnutrisi, penyakit.

    Selama bulan-bulan awal wabah Ebola di Afrika Barat pada tahun 2014, di banyak daerah kami memberikan satu-satunya perawatan kesehatan, dan menjadi corong menuntut perhatian dunia.

    Setelah gempa bumi dahsyat Haiti tahun 2010, salah satu tim lapangan kami merawat penyintas pertama dalam beberapa menit.

    Bencana kerap melanda berbagai negara, seperti negara-negara Afrika yang berbagi perbatasan, negara-negara Timur Tengah yang berkonflik, serta negara-negara Asia Tenggara yang dilanda tsunami dan angin topan. Dalam banyak situasi seperti itu, setiap tahun, kami memberikan bantuan di tempat-tempat yang bahkan tak ada di peta.

    Maila Gurung, 26, is assisted off of a helicopter by MSF Dr. Hanni when returned home to Diol village, Gorkha District, Nepal on May 21 2015. Maila had been evacuated to the MSF hospital in Arughat Bazaar where his broken leg was treated. photo: Brian Sokol/Panos Pictures

    Maila Gurung, 26, dibantu turun dari helikopter oleh dokter Doctors Without Borders dr. Hanni ketika pulang ke desa Diol, Distrik Gorkha, Nepal pada Mei 2015. Maila telah dievakuasi ke rumah sakit Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) di Arughat Bazaar di mana kakinya yang patah diobati. © Brian Sokol / Panos Pictures

    Membantu Indonesia di tengah berbagai bencana pada tahun 2018

    Pada 28 September 2018, rangkaian gempa bumi kuat melanda Sulawesi Tengah di Indonesia. Gempa tersebut memicu gelombang tsunami, yang pada gilirannya menyebabkan tanah longsor serta likuefaksi yang menelan seluruh desa. Secara keseluruhan, tiga rangkap bencana itu menewaskan 4.340 orang

    Tim Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) pertama yang tiba di lapangan termasuk seorang koordinator, seorang perawat, dan seorang psikolog, serta tiga orang nefrolog. Tim lapangan kedua terdiri dari tiga staf berpengalaman tentang bencana alam menuju Indonesia dari Panama pada hari yang sama. Semakin banyak ahli bedah, perawat, ahli logistik, dan bahkan psikolog bergabung dalam misi tersebut. Bahan bantuan dan peralatan kesehatan juga diterbangkan ke Indonesia dari Brussel dan Bordeaux.

    Pada tanggal 22 Desember di tahun yang sama, sebagian besar lereng selatan gunung berapi Anak Krakatau longsor ke laut, menyebabkan tsunami yang melanda pulau Sumatera dan Jawa di Indonesia. Hingga 28 Desember, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) melaporkan ada 40.386 orang mengungsi, dengan lebih dari 80 persen pengungsi berasal dari Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten. Korban jiwa bertambah 426, dengan 7.202 luka-luka, 23 orang hilang, serta 1.296 rumah rusak.

    Kami mengerahkan tiga tim: satu tim membantu Puskesmas Carita, dan tim kedua membantu Puskesmas Labuan. Di kedua puskesmas tersebut kami memberikan bantuan kepada tenaga kesehatan yang menangani korban luka di lapangan. Tim ketiga bergerak keliling, mengunjungi warga untuk merawat pasien luka-luka yang tidak bisa pergi ke RS atau puskesmas. Manajemen kasus dilakukan secara bersamaan, kasus yang parah dirujuk ke RS

    Di puskesmas, kami memberikan perawatan kesehatan dan memastikan bahwa protokol Pencegahan dan Pengendalian Infeksi diterapkan. Tim juga telah memprakarsai pemberian Pertolongan Pertama Psikologis (Psychological First Aid/PFA) pada pasien yang dirawat, dan meluncurkan program kesehatan mental.

    Cerita dari lapangan: Bekerja di klinik keliling

    Bencana rangkap tiga ini merupakan pertama kalinya dokter Indonesia Achmad Yusuf Toba bekerja dengan Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF). Dia bercerita tentang pengalamannya di lapangan:

    “Ketika saya mengetahui bahwa mereka sedang mencari dokter kesehatan untuk merespon tragedi tersebut, saya segera mengajukan diri. Sesampainya di lapangan, saya mengetahui bahwa kami telah memberikan perawatan kesehatan bagi para korban bencana di Palu dan Donggala. Mereka sudah melakukannya sejak hari kedua kedatangan di wilayah tersebut. Tugas utama saya adalah merawat pasien menggunakan klinik keliling. Pekerjaan saya kebanyakan melibatkan pasien trauma, seperti kasus seorang perempuan yang tersiram air mendidih saat berlari keluar rumahnya saat gempa. Saya juga melihat banyak pasien yang menderita patah tulang, dan luka dengan tingkat keparahan yang beragam - dari memar, sayatan dan robekan. Bagian tugas saya juga menilai pusat evakuasi atau pos kesehatan yang didirikan tim, serta melakukan pengawasan penyakit dan tindak lanjut pada pasien untuk memastikan bahwa penyakit menular seperti diare, masalah kulit dan infeksi saluran pernapasan dapat dicegah.”

    Kisah pasien: Elis dan Purwanto

    Elis dan keluarganya sedang berada di rumah saat tsunami menerjang pesisir Selat Sunda di hari naas itu. Rumah mereka terletak di bibir pantai Kampung Laba, Desa Cigondang, Kecamatan Labuan. Mereka tinggal di sebelah rumah orang tuanya.

    Saat gelombang pertama menerjang, suami Elis, Purwanto, memperingatkan Elis, dan bergegas menghampiri putri serta mertuanya di rumah sebelah, agar bisa menyelamatkan diri.

    Gelombang yang kuat, lebih tinggi dari tiang listrik di dekatnya, tingginya sekitar 7 sampai 12 meter, menghancurkan rumah mereka dan membuatnya luluh-lantak. Purwanto, 35 tahun, terluka saat paha kirinya tertimpa atap seng rumah mereka. Elis terjepit lemari dan meja di dalam rumah, serta puing-puing sisa rumah mereka.

    Beruntung, meski terluka, Purwanto mampu menyelamatkan Elis. Elis dan Purwanto berjalan kaki sejauh 2 kilometer menuju puskesmas di Labuan.

    Elis dan suaminya dirawat oleh tim Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) di puskesmas Labuan. “Mereka memeriksa kondisi saya dan bayi saya. Saya mengalami memar dan bengkak hampir di seluruh tubuh saya. Tapi syukurlah, bayi saya baik-baik saja.”

    Tim merawat Elis dan memastikan perawatan kesehatannya. Dia tinggal di puskesmas Labuan selama tiga hari berikutnya. Sementara itu, mereka merujuk Purwanto dan ibunda Elis ke RS di Pandeglang karena luka mereka cukup parah. Ayahnya juga dirujuk ke RS yang sama karena cedera di tangan kirinya.

    The mobile team consisting of a medical doctor, nurses, a psychologist and a logistician travelled by boat to remote coastal villages which could not be reached by road and had yet to receive any medical and humanitarian aid. © Florian Lems

    Selama respons Topan Haiyan, tim keliling yang terdiri dari dokter medis, perawat, psikolog, dan ahli logistik melakukan perjalanan dengan perahu ke desa-desa pesisir terpencil yang tidak dapat dijangkau melalui jalan darat dan belum menerima bantuan medis dan kemanusiaan. © Florian Lems/MSF

    Tim kesehatan tiba di Filipina satu hari setelah Topan Haiyan

    Pada tahun 2013, Topan Haiyan — salah satu topan super kuat yang pernah tercatat — menyebabkan lebih dari 6.300 orang dinyatakan meninggal dan membuat empat juta orang mengungsi di Filipina. Prasarana penting, termasuk fasilitas kesehatan, jalan dan pelabuhan, rusak atau hancur, dan persediaan darurat tersapu. Kebutuhan kesehatan sangat besar, dan risiko wabah penyakit menular tinggi.

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) berhasil mengirimkan tim ke daerah terdampak dalam satu hari setelah topan super menerjang.

    Kegiatan pertolongan utama setelah terjangan Haiyan termasuk 11.624 tindakan bedah; 29.188 vaksinasi untuk tetanus, campak, polio dan hepatitis; perawatan kesehatan mental dan/atau konseling untuk 27.044 pasien; 2.445 persalinan bayi; klinik keliling di 133 lokasi berbeda; pembangunan satu RS semi permanen; rehabilitasi tujuh RS; pasokan dan distribusi 71.979 perlengkapan bantuan; paket makanan untuk 50.000 orang; dan penyaluran 14.473.500 liter air.

    Secara total, kami mengirimkan 1.855 ton kargo dan mengerahkan hampir 800 tenaga bantuan ke Filipina pada puncak respon kami. Aksi lapangan berskala besar ini dimungkinkan oleh kedermawanan dan cinta kasih dari para pendonor pribadi serta pendukung di seluruh dunia. Secara internasional, kami mengumpulkan total dana sebesar 32,4 juta euro untuk respon Topan Haiyan.

    Cerita dari lapangan: Tantangan logistik dalam pertolongan darurat

    Sepuluh hari setelah topan melanda, Koordinator Kedaruratan Caroline Seguin menggambarkan tantangan logistik dan sumber daya manusia yang sangat besar untuk mendapatkan pertolongan darurat dan pasokan ke tempat yang paling membutuhkan.

    “Pada hari-hari sejak topan melanda, kami berhasil membawa lebih dari 150 staf dan ratusan ton pasokan ke negara itu. Dengan banyaknya fasilitas kesehatan yang rusak atau hancur, kebutuhan perawatan kesehatan menjadi penting, terutama karena kondisi lingkungan yang memperburuk risiko infeksi saluran pernafasan, pneumonia dan penyakit yang ditularkan melalui air. Di sebagian besar wilayah tempat kami bekerja - Panay, Guiuan, Ormoc, Tacloban, dan Burauen - layanan kesehatan sangat terganggu dan kami berfokus pada pemulihan kualitas layanan kesehatan utama serta RS. Di Guiuan, RS tenda telah dipasang di lokasi RS rujukan yang rusak, sedangkan di Tacloban, RS tiup akan didirikan minggu ini dan akan menyediakan semua layanan termasuk ruang gawat darurat, departemen rawat inap, serta ruang operasi. Tim akan segera membentuk unit kehamilan, persalinan dan ginekologi. Dalam situasi carut-marut seperti ini, kebutuhan akan layanan kesehatan mental sangat besar. Semua tim kami disertai petugas kesehatan mental atau psikolog. Ini adalah aspek yang sangat penting dari respon kami, dan cukup mudah diterapkan dibandingkan dengan layanan lain yang lebih menantang secara logistik".

    Kami merawat yang rentan

    Setiap tahun, sebagai organisasi kemanusiaan kesehatan internasional, misi Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) termasuk memberikan bantuan kesehatan di kamp pengungsian dan pusat detensi (penahanan) di seluruh dunia. Di Asia Tenggara, kami berupaya menyediakan perawatan kesehatan bagi warga Rohingya, salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia.

    Menyusul kampanye bersama terhadap kekerasan ekstrem oleh otoritas Myanmar terhadap warga Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar, pada Agustus 2017, lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke distrik Cox's Bazar di Bangladesh.

    Um Kalsoum lost two children in the August 25, 2017 killings in her village. Her 18-month-old boy Abdul Hafiz survived. Photo: Mohammad Ghannam/MSF

    Um Kalsoum kehilangan dua anak dalam pembantaian pada Agustus 2017 di desanya di Myanmar. Anak laki-lakinya yang berusia 18 bulan, Abdul Hafiz, selamat. © Mohammad Ghannam / MSF

    Cerita dari lapangan: Dibiarkan kelaparan di laut

    Dimuat seperti kargo manusia dalam kapal pukat kayu, sekitar 500 orang yang berusaha mencapai Malaysia dari kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, kelaparan dan dipukuli oleh para penyelundup selama dua bulan berlayar pada tahun 2020. Semua penumpang adalah etnis Rohingya dari Myanmar, dan sebagian besar berusia antara 12 hingga 20 tahun meskipun ada juga beberapa anak kecil. Tak diizinkan mendarat di Malaysia, sekira 400 penyintas akhirnya diselamatkan oleh penjaga pantai Bangladesh.

    Amina*, seorang gadis Rohingya berusia 14 tahun dari kota pasar kecil di Myanmar barat, menggambarkan duduk di atas dek di bawah terik matahari bersama ratusan orang selama lebih dari dua bulan. “Kami harus duduk seperti ini,” katanya sambil memeluk lututnya ke dada. "Kaki-kaki orang membengkak dan lumpuh. Beberapa meninggal dan dibuang ke laut. Kami terapung-apung di lautan dengan orang-orang yang sekarat setiap hari. Rasanya kami seperti diambil dari neraka."

    Para pengungsi mengatakan, mereka dipukuli kalau sedikit saja membuat keributan dan hanya diberi sedikit makan dan minum. “Rasanya sangat panas dan tidak ada makanan, tidak ada air,” kata Amina. “Kami mendapat segenggam dal dan satu tutup botol air per hari.” Penyintas lainnya mengatakan bahwa mereka seringkali tidak menerima makanan atau air sama sekali selama berhari-hari. Karena sangat haus, banyak orang terpaksa minum air laut.

    Perahu itu tidak diizinkan untuk mendarat di Malaysia, atau lokasi lainnya, dan akhirnya kembali ke Bangladesh. Beberapa hari sebelum mencapai Bangladesh, sebagian besar penyelundup meninggalkan perahu dan penumpangnya yang kelaparan. Penjaga pantai Bangladesh menyelamatkan sekira 400 penyintas yang tersisa. Kami mengirim tim staf medis dan kesehatan mental untuk mendukung penyelamatan dan memberikan perawatan darurat kepada para penyintas yang kurus kering saat mereka tiba kembali di Bangladesh. Petugas kesehatan menstabilkan mereka yang sakit parah dan merujuk beberapa ke RS MSF karena kekurangan gizi dengan komplikasi parah dan kondisi lainnya. Tim kesehatan mental kami memberikan konseling kepada para penyintas.

    “Kebanyakan orang stres dan sangat trauma, ketakutan, merasa tak pasti. Mereka berduka karena kehilangan anggota keluarga, dan ada anak-anak yang kehilangan orang tua,” kata Hanadi Katerji, perawat dan ketua tim kesehatan.

    "Awak perahu memberi tahu kami: 'Di mana pun kalian akan menjadi pengungsi,'" kata Amina. “Di Myanmar kalian adalah pengungsi, di Bangladesh kalian adalah pengungsi, di perahu dan di Malaysia pun kalian dianggap sebagai pengungsi. Kalian akan mati kemanapun kalian pergi."

    Kami merespons krisis kesehatan

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) mulai merespons wabah Ebola pada 2014, dan terus menangani beberapa wabah. Namun ada pandemi dan epidemi lainnya. Wabah kolera, campak dan demam kuning dapat menyebar dengan cepat dan berakibat fatal. Malaria adalah endemik di lebih dari 100 negara. Jutaan orang hidup dengan HIV/AIDS dan tuberkulosis.

    There are many children in the Guéckédou Ebola case management centre. Some are orphans, which makes caring for them more complex. Staff easily become attached to these patients, whom they are the only ones to touch and comfort through two pairs of gloves and a mask. Photo: Julien Rey/MSF

    Ada banyak pasien anak di pusat penanganan kasus Ebola Guéckédou di Guinea, Afrika Barat. Sebagian dari mereka yatim piatu, sehingga untuk mengasuhnya menjadi lebih rumit. Staf bisa dengan mudah menjadi terikat pada pasien ini, yang hanya mereka sentuh dan beri kenyamanan melalui sepasang sarung tangan dan masker. © Julien Rey/MSF

    Sekarang, COVID-19 telah mempengaruhi hampir setiap negara dan wilayah di muka bumi, menginfeksi puluhan juta orang dan mengakibatkan kematian lebih dari satu juta jiwa. Di hampir setiap negara, setiap wilayah, setiap proyek, di sekitar Eropa, Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah, kami telah mendukung respons COVID-19.

    Pekerja domestik asing di Hong Kong

    Di Hong Kong, kami sangat prihatin tentang kesehatan mental masyarakat selama pandemi virus corona, terutama di tengah kelompok rentan yang mungkin kesulitan mencari bantuan. Sebuah survei menunjukkan bahwa 72% pekerja domestik asing yang menjadi responden mengalami gejala terkait depresi. 47% responden survei tersebut mencari bantuan dari sesama rekan kerja mereka di Hong Kong.

    Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières (MSF) menyediakan program pelatihan bagi para ketua komunitas di Hong Kong. Dengan membekali mereka keterampilan mendengarkan aktif serta pertolongan pertama psikologis, pelatihan ini bertujuan memberdayakan mereka agar lebih baik dalam membantu rekan-rekannya dan memahami batasan mereka saat membantu orang lain.

    Karen Lau, Penyelia Kesehatan Mental  Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières (MSF), berkata, “Ada sumber daya terbatas yang menyediakan perawatan untuk kesehatan mental pekerja domestik asing di Hong Kong. Namun, kami melihat bagaimana rasa kebersamaan mereka yang unik dan jaringan rekanan yang luas dapat dimanfaatkan untuk mendorong dukungan sosial dan meningkatkan pemahaman mereka terhadap kesehatan mental. Ini kemudian bisa membuat para  pekerja domestik asing melindungi diri mereka sendiri dan orang lain dengan lebih baik di tengah masa-masa sulit ini."

    Kami juga mengadakan kegiatan pendidikan kesehatan COVID-19 di Hong Kong, membagikan selebaran dalam bahasa Tagalog dan Bahasa Indonesia serta bahasa lainnya, menyelenggarakan sesi pembelajaran dan menjawab pertanyaan. Tim kesehatan darurat menjangkau penduduk rentan di Hong Kong: para lansia, pembersih jalan, tunanetra, tunawisma, etnis minoritas, migran dan pencari suaka. Selain berbagi informasi pendidikan kesehatan, sesi tanya jawab khusus disediakan untuk merespon masalah yang paling mendesak. 

    Tokoh masyarakat di Indonesia

    Di awal pandemi virus corona, kekhawatiran mulai menyebar ke seluruh masyarakat Indonesia begitu kasus COVID-19 dilaporkan oleh otoritas kesehatan. Rumor, mitos, dan berita palsu bertebaran. Tokoh masyarakat dan pejabat dibombardir oleh pertanyaan dari anggota masyarakat yang menuntut fakta jelas tentang COVID-19. Terlalu banyak informasi yang datang dari berbagai sumber - media sosial, grup obrolan, dan laporan berita di TV, radio, serta media cetak.  Situasi semakin memanas ketika Kelurahan Kalibata, di Kecamatan Pancoran, dinyatakan sebagai zona merah COVID-19.

    Tim Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières (MSF) mengkaji situasi di Kelurahan Kalibata. Tim menemukan bahwa kebingungan dan ketakutan merebak di Jakarta Selatan dan sulit bagi kebanyakan orang untuk menemukan sumber informasi COVID-19 yang terpercaya.

    “Kami menemukan bahwa pusat kesehatan setempat, atau puskesmas, sangat menginginkan dukungan kami,” kata dr. Dirna Mayasari, wakil koordinator kesehatan MSF di Indonesia. Puskesmas mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama dan mereka yang dilatih untuk melatih orang lain agar menyuarakan keprihatinan mereka dalam sebuah pertemuan.

    “Masyarakat perlu saran yang jelas tentang cara melindungi diri mereka dari COVID-19.  Tapi mereka juga ingin berpendapat. Semua informasi yang mereka peroleh hanyalah komunikasi satu arah,” kata dr. Dirna Mayasari. “Mereka menginginkan kesempatan untuk bertanya, menyampaikan kekhawatiran mereka dan mengklarifikasi cara terbaik untuk mencegah virus baru ini. Mereka juga ingin berbagi cara menyebarkan informasi dalam komunitas mereka.” Oleh karena itu, kami memutuskan untuk mendekatkan informasi dan mulai melakukan pelatihan tatap muka bagi kepala rumah tangga yang ada di lingkungan tersebut.

    Pengungsi dan kaum miskin kota di Filipina

    COVID-19 telah terbukti menjadi tantangan bagi sistem perawatan kesehatan di segala aspek, dan bahkan lebih sulit lagi di tempat-tempat yang pulih dari konflik, serta di daerah perkotaan yang padat penduduk. Kebersihan menjadi masalah ketika akses ke air bersih terbatas. Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan yang lebih besar ketika jarak fisik hampir tidak mungkin dilakukan.

    Pada 2017, sebuah kelompok bersenjata mengepung kota Marawi di bagian selatan Filipina. Konflik meletus antara tentara Filipina dan kelompok tersebut. Pengepungan tersebut berlangsung selama lima bulan dan memaksa sekitar 370.000 orang mengungsi dari rumah mereka. Lebih dari tiga tahun kemudian, sekitar 70.000 orang masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan di tempat penampungan sementara dan 50.000 lainnya diperkirakan tinggal di rumah anggota keluarga lain. Setelah pengepungan, staf lapangan Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières (MSF) memastikan para pengungsi memiliki akses ke air bersih dan gratis. Belakangan, bantuan diperluas ke perawatan kesehatan mental, dan berlanjut dengan bantuan untuk tiga pusat kesehatan di daerah tersebut, pengobatan penyakit tidak menular, seperti hipertensi dan diabetes, serta pemberian pengobatan gratis.

    Ketika pandemi COVID-19 dimulai dan karantina warga diberlakukan, konsultasi medis di fasilitas kesehatan ditangguhkan. Kurangnya akses ke air bersih membuat rekomendasi berikutnya untuk menahan penyebaran virus sangat menantang. Pasien yang menderita penyakit tidak menular, seperti hipertensi atau diabetes, sangat rentan terhadap virus. Tim melakukan kunjungan rumah untuk memastikan pasien terus menerima pengobatan dan memberikan brosur kepada mereka tentang virus tersebut serta bagaimana cara melindungi diri dan keluarga mereka dari virus ini.

    Di ibu kota Manila, daerah kumuh Tondo sangatlah sesak, membuat isolasi mandiri hampir mustahil. Karena pembatasan pergerakan dan bisnis tutup, banyak juga yang kehilangan pekerjaan. Untuk membantu mereka yang melakukan karantina mandiri, tim kami menyediakan lebih dari 2.000 perlengkapan kebersihan COVID-19, yang isinya termasuk masker sekali pakai, termometer, alkohol, sabun tangan, dan kartu kontak seorang pekerja sosial. Tim juga menyediakan perlengkapan kebersihan untuk kontak mereka, dengan barang serupa di dalamnya. Karena mereka yang berada di karantina tidak dapat bekerja, kami bekerja sama dengan jemaat agama setempat, Misionaris Charitas, menyediakan paket makanan sesuai kebutuhan.

    RS San Lazaro (RS SL) Manila awalnya memiliki dua Unit Perawatan Intensif COVID-19 yang masing-masing dapat melayani sepuluh pasien. Terdapat juga satu bangsal dengan 20 ranjang, satu bangsal pria dewasa menampung 20 ranjang pasien, dan satu bangsal wanita dewasa dengan 20 ranjang pasien. Kami membantu pengujian COVID-19 RS SL, manajemen data, dan kapasitas manajemen kasus COVID-19 dengan peralatan biomedis, obat-obatan, persediaan kesehatan, alat pelindung diri, serta pelatihan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi.

    Kami memberi dukungan sumber daya manusia ke RS San Lazaro, untuk membantu di Departemen Laboratorium dan Epidemiologi, di bangsal COVID-19, triase COVID-19 serta bangsal Tuberkulosis. Selain staf, peralatan dan obat-obatan, kami juga membantu RS SL dengan perbaikan infrastruktur.

    Cerita dari lapangan: Perayaan keagamaan saat pandemi

    Chika Suefuji, koordinator proyek di Marawi, berbicara tentang tantangan yang dihadapi masyarakat ketika karantina warga diberlakukan pada Maret 2020.

    "Masyarakat tidak dapat pergi ke masjid, yang merupakan salah satu ibadah terpenting selama Ramadan. Dapat dimengerti bahwa beberapa orang kesal mengetahui bahwa mereka harus merayakan Ramadhan tahun ini secara berbeda; beberapa mempertanyakan keputusan ini, karena hanya sedikit kasus infeksi COVID-19 yang dilaporkan di daerah tersebut. Kami membahas ini dengan pemimpin masyarakat dan pemuka agama, menjelaskan bagaimana virus menyebar.  Mereka memahami dengan baik dan mengeluarkan pernyataan meminta warga untuk mengikuti langkah-langkah keamanan.  Pendekatan ini membantu penyebaran informasi yang akurat dan meyakinkan lebih banyak penduduk untuk mengikuti langkah-langkah tersebut.  Secara keseluruhan, masyarakat menghormati tatanan sosial untuk melindungi keluarga dan warga mereka, dan ini membantu mencegah virus di masyarakat.”

    Cerita dari lapangan: Paket makanan dan pertolongan pertama psikologis untuk bertahan hidup di karantina

    Karena kondisi sulit yang disebabkan pandemi COVID-19, banyak keluarga di Tondo yang mengalami kecemasan dan depresi. Lyka Lucena bekerja sebagai pekerja sosial kesehatan mental, dan dia berkata, “Mereka khawatir akan menulari orang lain terutama orang yang mereka cintai. Mereka juga takut sakit atau tertular COVID-19 lagi. Banyak pasien mengalami kesepian karena jauh dari keluarga mereka. Banyak yang mengungkapkan perasaan marah, frustrasi, dan ketidakberdayaan terhadap situasi mereka."

    Tim Dokter Lintas Batas/Médecins Sans Frontières (MSF) menawarkan dukungan kesehatan mental jarak jauh kepada mereka yang sedang melakukan isolasi mandiri. “Kami mencoba membantu meringankan kesedihan mereka dengan mengidentifikasi dan menekankan strategi penanganan yang sehat serta menentukan cara untuk membantu diri mereka sendiri. Kami juga memastikan untuk mengatasi perasaan terdiskriminasi dan distigmatisasi. Kami juga mendorong pasien untuk berhubungan kembali dengan orang yang mereka cintai,” kata Lucena.

    Migran dan pengungsi di Malaysia

    Malaysia memiliki sistem perawatan kesehatan yang kuat, tetapi COVID-19 menunjukkan bahwa kebijakan eksklusi sosial dan pembatasan akses ke perawatan kesehatan dapat berdampak pada masyarakat secara keseluruhan. Meskipun pemerintah memutuskan untuk memastikan akses gratis pengujian COVID-19 untuk semua, pengungsi dan migran gelap masih hidup dalam ketakutan terus-menerus untuk ditangkap dan ditahan. Ketakutan ini muncul di rumah dan di jalanan - karena penggerebekan imigrasi sering terjadi - bahkan di fasilitas perawatan kesehatan sekalipun.

    Inilah mengapa kami menyerukan kepada pemerintah untuk mencabut Surat Edaran 10/2001, yang menyebutkan penyedia perawatan kesehatan diwajibkan untuk melaporkan "imigran gelap" (pendatang asing tanpa izin, atau PATI) yang mencari layanan kesehatan kepada polisi dan otoritas imigrasi. Kami juga telah menyerukan akses ke asuransi kesehatan bersubsidi dan status hukum bagi migran gelap dalam undang-undang Malaysia, yang membebaskan mereka dari Undang-Undang Imigrasi.

    Kami juga menganjurkan pemerintah Malaysia untuk berhenti menargetkan migran dan pengungsi dalam penggerebekan imigrasi, yang berisiko penyebaran COVID-19 lebih luas di pusat-pusat penahanan.

    Selain menyerukan status pengungsi dan migran gelap, di Penang kami memberikan pendidikan kesehatan COVID-19 dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Rohingya dan Burma, serta terjemahan di RS. Kami juga melakukan kampanye promosi kesehatan COVID-19 untuk pengungsi Rohingya melalui jaringan daring berita Rohingya.

    Kami bersuara

    Karena Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) didirikan oleh jurnalis dan dokter, kami tidak hanya puas melakukan tugas kemanusiaan kesehatan. Kami merasa bahwa bersuara - kami menyebutnya temoignage (testimoni) - adalah elemen penting dari tugas yang kami lakukan.

    Temoignage dilakukan dengan maksud untuk memperbaiki situasi dari populasi yang terancam bahaya. Ketika kami menyaksikan pelanggaran HAM massal, misalnya genosida, kejahatan perang, pemulangan paksa pengungsi, kami bisa angkat bicara. Bersuara termasuk berkampanye dan melobi untuk akses yang lebih layak ke perawatan kesehatan, seperti kampanye selama bertahun-tahun untuk menurunkan harga obat tuberkulosis, dan kampanye yang lebih baru untuk memastikan bahwa negara-negara yang lebih miskin akan memiliki cukup pasokan vaksin COVID-19. Ada beberapa kasus di mana demi kepentingan terbaik para korban, Doctors Without Borders memberikan bantuan tanpa menyuarakannya di depan umum atau mengadu tanpa memberikan bantuan, misalnya ketika bantuan kemanusiaan dimanipulasi

    Penting bagi kami untuk jujur tentang sulitnya memberikan bantuan kesehatan dalam situasi darurat, dan kami tidak selalu melakukannya dengan benar. Oleh karenanya, kami terus melakukan refleksi dan berusaha menjadi lebih baik. Kami berkomitmen untuk secara teratur mengevaluasi efek kegiatan kami, serta mempertanggungjawabkan tindakan kami kepada para pasien dan donor.

    Kami mandiri

    Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) adalah asosiasi internasional swasta. Asosiasi Doctors Without Borders sebagian besar terdiri dari dokter dan pekerja sektor kesehatan serta terbuka juga untuk semua profesi lain yang mungkin dapat membantu mencapai tujuan Doctors Without Borders.

    Kami jarang mengambil dana dari pemerintah untuk pekerjaan kami, namun sangat bergantung pada kedermawanan setiap anggota masyarakat. Lebih dari 90 persen dana kami berasal dari donor swasta yang menyumbang dalam jumlah kecil. Kemandirian keuangan kami juga berarti bantuan yang kami berikan tidak dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik atau militer pemerintah.

    Kami berusaha keras untuk memastikan evaluasi kebutuhan kesehatan, dan akses ke pasien tanpa batasan. Ini artinya ketika ada keadaan darurat, kami bisa bertindak cepat dengan memanfaatkan dana dari sumbangan pribadi untuk menyelamatkan nyawa, berdasarkan penilaian kebutuhan yang independen.

    Pendekatan kami tidak selalu sesuai dengan gaya sektor amal pada umumnya. Kami tidak pernah mengajukan permohonan darurat kecuali kami yakin dapat membelanjakan dananya untuk kegentingan khusus tersebut; tidak ada alasan terselubung atau sangkalan tersembunyi untuk mengalihkan uang ke bagian lain organisasi.

    Kami bahkan menawarkan pengembalian uang ketika kedermawanan masyarakat melampaui tanggapannya, atau memastikan pendukung kami mengizinkan uang mereka dibelanjakan di tempat lain. Kecuali untuk permohonan darurat, kami meminta para donor menyumbang untuk dana umum kami, yang berkontribusi sebagai cadangan darurat yang siap digunakan saat bencana melanda.

    Menurut laporan kegiatan 2019, lebih dari 6,5 juta donor individu dan lembaga swasta (perusahaan swasta dan yayasan) menyumbang 96,2 persen dari €1,63 miliar dana yang dikumpulkan.

    Dana kami sangat bergantung pada individu yang menyumbang dalam jumlah kecil. Ini membantu memastikan kemandirian dan fleksibilitas operasional kami untuk merespon kegentingan yang paling mendesak pada saat itu juga, termasuk yang tidak dilaporkan atau terabaikan.

    Sejak 2016, kami menolak mengambil dana dari Uni Eropa, Negara Anggotanya, serta Norwegia, untuk menentang kebijakan mereka tentang pencegahan migrasi yang merugikan dan upaya intensif mereka untuk mendorong orang-orang menjauh dari daratan Eropa.

    Selain itu, kami tidak menerima kontribusi dari perusahaan dan industri yang kegiatan intinya mungkin bertentangan langsung dengan, atau membatasi kemampuan kami untuk melaksanakan tugas kemanusiaan kesehatan. Karenanya, kami tidak menerima uang dari: perusahaan farmasi dan bioteknologi; industri penambangan (seperti minyak, gas alam, emas, atau berlian); perusahaan tembakau; dan produsen senjata.

    Severe burn victims in MSF Drouillard hospital. Photo:Yann Libessart/MSF

    Korban luka bakar parah di rumah sakit Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) Drouillard di Haiti. © Yann Libessart / MSF

    No safe haven for Iraq’s displaced. Photo: Mohammad Ghannam/MSF

    Tidak ada tempat yang aman bagi pengungsi Irak. © Mohammad Ghannam/MSF

    All survivors were triaged by MSF medics and assisted by the Sea-Watch protection team upon embarkation. Photo: Chris Grodotzki/Sea-Watch.org

    Dalam operasi pencarian dan penyelamatan kami di Laut Mediterania, orang-orang yang selamat ini diprioritaskan oleh tenaga medis Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) dan dibantu oleh tim perlindungan Sea-Watch saat embarkasi. © Chris Grodotzki / Sea-Watch.org

    Kami netral dan tidak memihak

    Kami memberikan perawatan kesehatan cuma-cuma bagi mereka yang paling membutuhkan. Tidak peduli dari negara atau wilayah mana mereka berasal, dan terlepas dari ras, jenis kelamin, serta sikap dan kepentingan politik, ekonomi atau agama mereka. Kami memprioritaskan mereka yang berada paling serius dan terdekat dengan bahaya.

    Kami tidak memihak atau mendukung agenda dalam konflik bersenjata, namun mendatangi tempat yang paling membutuhkan bantuan kesehatan. Terkadang kami tidak hadir di semua sisi konflik; ini mungkin karena akses bantuan ditolak, atau karena ketidakamanan, atau karena kebutuhan utama penduduk sudah tercukupi.

    Di RS lapangan, bukan hal yang aneh jika warga sipil yang terluka bersebelahan dengan tentara yang terluka dari sisi lawan. Kekuatan dan senjata harus ditinggalkan di pintu gerbang.

    Kami memperlakukan pasien secara bermartabat

    Tindakan Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) yang pertama dan utama adalah kesehatan. Kami menjalankan tugas kami dengan menghormati aturan etika kesehatan, khususnya kewajiban untuk memberikan perawatan tanpa membahayakan individu atau kelompok. Kami menghormati otonomi pasien, kerahasiaan dan hak atas penjelasan dan persetujuan. Kami memperlakukan pasien secara bermartabat, dan dengan menghormati budaya serta kepercayaan agama mereka. Sesuai dengan prinsip-prinsip ini, kami berusaha keras untuk memberikan perawatan kesehatan berkualitas tinggi kepada semua pasien.

    Pediatric services in Zahle hospital, Bekaa Valley. Photo: Florian SERIEX/MSF

    Layanan pediatrik di rumah sakit Zahle, Lembah Bekaa, Lebanon. © Florian Series/MSF

    Kids’ Zone at MSF Thalassemia programme. Photo: Joffrey Monnier/MSF

    Zona Anak di program Thalassemia Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) di Lebanon. © Joffrey Monnier/MSF

    Aquarius Search and Rescue Dec - Jan 2017. Photo:Federico Scoppa

    Perawat Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) Aiofe Ni Mhurchu' memberikan beberapa pil anti mabuk laut kepada salah satu dari 27 orang yang diselamatkan di Laut Mediterania pada Januari 2017. © Federico Scoppa

    Bekerja dengan kami

    Setiap tahun Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) mengirim sekitar 3.000 pekerja lapangan internasional untuk bekerja bersama 32.000 staf yang dipekerjakan secara lokal di berbagai negara untuk memberikan bantuan kesehatan darurat kepada penduduk yang kelangsungan hidupnya terancam oleh konflik bersenjata, epidemi, malnutrisi, tersisih dari perawatan kesehatan atau bencana alam. Pada setiap saat, lebih dari 30.000 staf kesehatan kemanusiaan dari seluruh dunia dapat ditemukan sedang memberi bantuan kepada mereka yang berada dalam kegentingan.

    Mereka adalah para dokter, perawat, bidan, ahli bedah, ahli anestesi, ahli epidemiologi, psikiater, psikolog, farmasis, teknisi laboratorium, ahli logistik, insinyur air dan sanitasi, administrator dan banyak jenis staf pendukung serta pekerja lapangan lainnya.

    Lebih dari 90 persen staf kami direkrut secara lokal, dan mereka menjalankan program kami dengan sejumlah kecil staf internasional. Menurut kabar lapangan 2019, sekitar 65.000 staf dari Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) memberikan bantuan kesehatan dan kemanusiaan kepada orang-orang di lebih dari 70 negara.

    Program kami didukung oleh personel di kantor eksekutif kami. Tim komunikasi, advokasi, penggalangan dana, keuangan, dan sumber daya manusia semuanya berkontribusi untuk memastikan kami memberikan bantuan kesehatan yang efektif bagi mereka yang paling membutuhkannya. Proyek penelitian lapangan serta departemen dukungan kesehatan dan logistik khusus memastikan bahwa inovasi dan kemajuan dalam penelitian dimasukkan ke dalam pekerjaan kami di klinik dan RS di seluruh dunia.

    Kami merekrut pekerja lapangan bidang kesehatan dan non-kesehatan. Semua staf kami adalah profesional yang memilih bekerja untuk Doctors Without Borders karena komitmen dan kepedulian terhadap kesehatan dan kelangsungan hidup.