Skip to main content

    Laporan Doctors Without Borders mengecam “pembunuhan senyap”

    Medical staff in Gaza often work from makeshift health facilities where patients have to queue for hours to get assistance. Palestinian Territories, March 2023. © MSF

    Staf medis di Gaza seringkali bekerja dari fasilitas kesehatan darurat di mana pasien harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkan bantuan. Wilayah Palestina, Maret 2023. © MSF

    • Kondisi untuk bertahan hidup tidak tersedia di Rafah. Dengan hancurnya sistem layanan kesehatan dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi, masyarakat di Rafah menghadapi peningkatan risiko wabah penyakit, kelaparan, kekurangan gizi, dan dampak jangka panjang berupa trauma psikologis.
    • Tim kami di lapangan melihat perjuangan besar-besaran yang dihadapi warga Palestina di Gaza saat ini untuk mengakses layanan medis dan memperingatkan akan banyaknya kematian yang dapat dicegah akibat gangguan terhadap layanan kesehatan kritis.

     

    Gaza/Yerusalem/Barcelona, 29 April 2024 – Sistem layanan kesehatan di Gaza telah hancur, di mana laki-laki, perempuan dan anak-anak semakin berisiko mengalami kekurangan gizi akut dan kesehatan fisik dan mental mereka memburuk dengan cepat, menurut sebuah laporan yang dirilis hari ini oleh organisasi medis internasional Doctors Without Borders / Médecins Sans Frontières (MSF) bertajuk Gaza’s Silent Killings: The destruction of the healthcare system and the struggle for survival in Rafah.

    Lebih dari enam bulan setelah perang di Gaza, kehancuran yang ditimbulkan jauh melampaui korban jiwa akibat pemboman dan serangan udara Israel. Doctors Without Borders menggambarkan perjuangan besar-besaran yang dihadapi warga Palestina di Gaza saat ini untuk mengakses layanan medis dan memperingatkan sejumlah besar kematian yang dapat dicegah akibat gangguan terhadap layanan kesehatan kritis.

    “Berapa banyak anak yang meninggal karena pneumonia di rumah sakit yang kewalahan?” tanya Mari-Carmen Viñoles, kepala program darurat Doctors Without Borders.

    “Berapa banyak bayi yang meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa dicegah? Berapa banyak pasien diabetes yang tidak diobati? Bagaimana dengan dampak mematikan dari penutupan unit dialisis ginjal di rumah sakit yang diserang? Ini adalah pembunuhan diam-diam di Gaza yang tidak dilaporkan dalam kekacauan ini, yang disebabkan oleh runtuhnya sistem layanan kesehatan di Gaza.”
    Mari-Carmen Viñoles

    Tim Doctors Without Borders yang bekerja di Rafah melaporkan bahwa sistem layanan kesehatan yang hancur dan kondisi kehidupan yang tidak manusiawi juga meningkatkan risiko wabah penyakit, kekurangan gizi, dan dampak jangka panjang berupa trauma psikologis. Doctors Without Borders memperingatkan bahwa serangan militer di Rafah, selain krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini di Gaza, akan menjadi bencana yang tidak dapat diduga dan memerlukan gencatan senjata yang segera dan berkelanjutan.

    Kondisi kehidupan di Rafah memperburuk masalah kesehatan

    Kondisi kehidupan di Rafah saat ini tidak kondusif untuk kelangsungan hidup, menurut laporan Doctors Without Borders, yang memanfaatkan data medis dan kesaksian pasien. Ada kekurangan air bersih untuk minum atau mandi, sementara sampah dan limbah menumpuk di jalan-jalan di lahan kecil yang sekarang menampung lebih dari satu juta orang yang terpaksa mengungsi dari utara Gaza.

    Di dua pusat layanan kesehatan primer yang dikelola oleh Doctors Without Borders di wilayah Al-Shaboura dan Al-Mawasi, tim kami menyediakan rata-rata 5.000 konsultasi medis setiap minggunya, banyak di antaranya terkait dengan kondisi kehidupan masyarakat yang di bawah standar. Lebih dari 40 persen konsultasi ini diperuntukkan bagi pasien yang menderita infeksi saluran pernapasan atas. Doctors Without Borders melihat peningkatan jumlah kasus dugaan hepatitis A. Dalam tiga bulan terakhir tahun 2023, kasus penyakit diare yang dilaporkan pada anak balita meningkat 25 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun 2022. Antara Januari dan Maret 2024, tim merawat 216 anak balita yang menderita malnutrisi akut sedang atau berat, suatu kondisi yang hampir seluruhnya tidak ada sebelum konflik saat ini.

    A mother holds her twin babies, born the previous day at Emirati maternity hospital, Rafah. Palestinian Territories, March 2023. © Annie Thibault/MSF

    Seorang ibu menggendong bayi kembarnya yang lahir sehari sebelumnya di rumah sakit bersalin Emirat, Rafah. Wilayah Palestina, Maret 2023. © Annie Thibault/MSF

    Ketika rumah sakit kewalahan menangani pasien trauma, orang-orang dengan kebutuhan medis lain, seperti ibu hamil dengan komplikasi dan orang yang menderita penyakit kronis, seringkali tidak dapat menerima perawatan yang mereka perlukan. Di rumah sakit Emirat, tempat Doctors Without Borders mendukung bagian pascapersalinan, tim medis berjuang untuk menangani hampir 100 persalinan setiap hari, lima kali lebih banyak dibandingkan sebelum perang. Di klinik Doctors Without Borders, konsultasi mengenai hipertensi, diabetes, asma, epilepsi dan kanker telah meningkat seiring dengan pasien yang mencari pemantauan dan pengobatan. Namun, jika kondisi mereka memburuk dan mereka memerlukan pengobatan atau peralatan khusus, yang semakin sulit didapat di Gaza, maka hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mereka. Banyak rujukan medis di Gaza saat ini tertunda atau tidak mungkin dilakukan.

    Kesehatan mental penduduk Gaza – termasuk staf medis – juga buruk. Kebanyakan pasien yang datang ke klinik Doctors Without Borders memiliki gejala yang berhubungan dengan kecemasan dan stres, termasuk kondisi psikosomatis dan depresi. Beberapa orang yang merawat anggota keluarga dengan gangguan kesehatan mental yang parah terpaksa memberikan obat penenang berlebihan untuk menjaga mereka tetap aman dan mencegah mereka melukai diri sendiri atau orang lain, karena kurangnya layanan khusus yang masih berfungsi di Gaza.

    Bagi Doctors Without Borders, upaya untuk mendukung sistem layanan kesehatan di Gaza yang hancur sangatlah menantang karena ketidakamanan. Doctors Without Borders juga menghadapi tantangan besar dalam menyalurkan pasokan medis dan bantuan kemanusiaan ke Gaza karena penundaan dan pembatasan yang dilakukan oleh otoritas Israel, yang dijelaskan secara rinci dalam lampiran laporan.

    Sebagai organisasi medis darurat internasional, kami memiliki keahlian dan sarana untuk berbuat lebih banyak dan meningkatkan respons kami. Staf medis Palestina sangat terampil dan hanya perlu diberikan sarana untuk bekerja dalam kondisi yang dapat diterima dan bermartabat untuk merawat dan menyelamatkan nyawa. Namun saat ini semua hal tersebut masih mustahil dilakukan. Tanpa gencatan senjata yang segera dan berkelanjutan serta masuknya bantuan kemanusiaan yang berarti, kita akan terus melihat lebih banyak orang meninggal.
    Sylvain Groulx, Koordinator Darurat

    Doctors Without Borders saat ini beroperasi di tiga rumah sakit di Gaza: Rumah Sakit Al-Aqsa (Area Tengah), Rumah Sakit Lapangan Rafah Indonesia dan Rumah Sakit Bersalin Emirat (Gaza Selatan), serta tiga fasilitas kesehatan, di Al-Shaboura dan Al-Mawasi, di Rafah. Tim medis Doctors Without Borders memberikan dukungan bedah, perawatan luka, fisioterapi, perawatan pasca melahirkan, layanan kesehatan primer, vaksinasi, dan layanan kesehatan mental. Namun, pengepungan sistematis dan perintah evakuasi di berbagai rumah sakit menjadikan aktivitas kami semakin terbatas dan membatasi kemampuan kami untuk merespons kebutuhan masyarakat. Doctors Without Borders juga menyediakan 300 meter kubik air bersih setiap hari di berbagai lokasi di Rafah dan terus berupaya untuk meningkatkan jumlah tersebut. Pada tanggal 28 Maret, Doctors Without Borders mendirikan pabrik desalinasi baru di Al-Mawasi.

     

    Categories